Suasana pertemuan sore itu, terekam lirih dalam ingatan. Di tenda darurat, sesekali bara api memerah seperti mengambil nafas. Sepanjang malam mereka sedang menunggu jatuhnya tiang utama di Uma Mawine, Rumah Ibu. Berkali-kali tiang ini goyang, dengan nyala api terang, tetapi belum juga mau rubuh. Mereka memandangnya dengan takjub dan rasa heran.
“Hari Rabu dan Kamis, kita mulai pembersihan. Memisahkan puing dan abu.Malam hari upacara, siang bekerja. Hari Selasa kita mengundang Rato-Rato dari desa lain, untuk selenggarakan upacara di sini. Membantu kita memulihkan tempat ini.”
Saya penasaran, bertanya pada Rato, kenapa harus mengundang rato desa lain, bukankah beda wilayah dan beda leluhur?
“Dalam bencana, kita semua sedang terluka. Tidak saja tempat dan barang-barang yang terbakar, tapi juga jiwa kita terluka. Kami sedang goyang dan hilang akal. Karena itu, kami minta bantuan mereka. Ada empat rato dari empat desa, yang akan selenggarakan upacara pembersihan. Marapu sedang terangkat dan pergi dari tempat ini, dan kami sedang membersihkan untuk kedatangannya kembali.”
“Para Rato adalah penenun untuk tenunan jiwa masyarakat. Dari manapun ia berasal, ia akan melakukan hal yang sama. Melakukan penyembuhan pada yang tak terlihat, membuat seimbang yang terlihat goyang. Kami membutuhkan bantuan spritual, sebagaimana juga pentingnya bantuan materi.”
Semalam kami makan bersama, dengan masakan yang dikerjakan dengan hati. Masakan terlezat yang yang saya rasakan selama bertahun tahun. Saya mengunyah makanan dengan pelan dalam diam. Merasakan setiap butir nasi dengan kesadaran berbeda. Meminum air seperti meneguk tampungan air hujan yang jatuh di tenda.
Sepanjang malam saya merenung tentang pertemuan ini, dan cara anggun mereka-mereka menghadapi bencana. Ini adalah catatan awal, yang akan disusul informasi teknis, apa yang dapat kita bantu untuk mendampingi mereka.
* Dibagikan di group WA KSBN oleh Taufik Razen (Budayawan & Staf Khusus Menteri Pariwisata Bidang Kebudayaan)