Waingapu.Com – Pandemi Covid-19 yang hingga kini masih menjadi masalah diseluruh dunia juga berdampak hingga ke pedalaman. Paling tidak ketika upaya untuk tetap menebarkan ilmu dan pengajaran diperhadapkan pada situasi keterbatasan jangkauan internet. Situasi itu juga dirasakan warga desa Laipandak, kecamatan Wulla Waijillu, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim) – NTT. Kendati demikian, ada ‘Jembatan Daring’ yang bisa menjadi solusinya.
‘Jembatan Daring’ adalah sebutan yang dirasa cukup tepat untuk menggambarkan faedah lain dari keberadaan jembatan gantung yang menghubungkan Desa Laipandak dengan Desa Laitena. Realitanya sebagian wilayah dua desa ini dipisahkan oleh sungai yang secara turun temurun dinamakan Luku Waibara itu.
Selama lebih dari seminggu berada di desa Laipandak, beberapa kali terdengar anak dan remaja desa ini mengajak rekannya untuk ke jembatan gantung. Untuk apalagi jika bukan untuk berselancar di dunia maya seperti bermain Facebook, Instagram atau juga bermain game yang kini ‘masih’ populer semisal Mobile Legend ataupun Free Fire. Namun tak semata untuk bermedsos dan Mabar (Main bareng) game, tapi juga dijadikan tempat ideal untuk belajar secara Daring alias dalam jaringan.
Gio misalnya, siswa kelas dua SMP Negeri 01 Wulla Waijillu, dalam sebuah kesempatan mengatakan, setiap hari dan pada jam-jam tertentu lokasi sekitar jembatan gantung ramai oleh anak dan remaja. Pembelajaran sistem Daring (Dalam Jaringan) yang kini masih terus diterapkan di masa Pandemi Covid 19 bisa terlaksana jika ‘berkunjung’ ke Jembataan Daring itu.
“Kalau ada tugas dari sekolah dan saya pas ada di rumah nenek, pas mau kerja dan kirim tugas saya pergi jembatan gantung. Kalau sudah habis kerja dan kirim tugas yaa mabar sudah kakak,” katanya.
“Saya waktu belum ada HP Android biasa sama-sama dengan kawan pergi jembatan gantung untuk lihat dan kerja tugas. Sekarang saya sudah ada android jadi saya bisa sendiri pergi, di sana sinyalnya kencang,” ungkap Elsi, siswi kelas dua SMP Negeri 02 Wulla Waijillu.
“Saya juga kakak, suka sama-sama kawan pergi jembatan gantung. Apalagi kalau kawan ajak untuk main free fire,” spontan imbuh Rio yang kebetulan saat itu bersama Elsi saat diajak berbincang-bincang di kampung Pahenya, sebuah Kampung Adat di Desa Laipandak. Rio sendiri merupakan siswa kelas lima Sekolah Dasar (SD) Baing itu.
Yaa, Gio,Rio dan Elsi, anak dan remaja yang ditemui di Desa Laipandak kala itu bicara bukan tanpa bukti. Dalam beberapa kesempatan, cerita mereka teruji sempurna. Sinyal 4G penuh nampak di layar android ketika tiba di jembatan gantung. Tak sampai disitu, di sisi jembatan tepat dibawah sebuah pohon kesambi nampak lebih dari sepuluh anak dan remaja duduk bermain game online. Sementara lainnya duduk di atas jok motor untuk membuka facebook sekedar untuk update status atau melihat linimasa sahabat dunia maya mereka. Pekatnya malam kala itu mereka abaikan dan dilawan dengan pancaran cahaya dari android masing-masing.
Suatu hari, sekira pukul 10:00 WITA, di jembatan itu tak ‘seheboh’ malam sebelumnya. ‘Jembatan Daring’ itu hanya nampak dua orang pemuda dan satu orang Bapak dengan tas Laptopnya. Setelah didekati ternyata dua pemuda sedang asyiik membuka halaman facebook dan Youtube sedangkan Sang Bapak dengan Laptopnya nampak membuka email. “Saya mau buka email, sudah mau seminggu saya belum ke sini. Siapa tahu ada email masuk dan ada kaitan dengan kerja saya,” ungkap Gerardus, si Bapak bersama laptopnya itu.
Entah sampai kapan, jembatan gantung itu akan juga miliki fungsi plus sebagai Jembatan Daring. Yang pasti hingga kini, saban hari jembatan ini menjadi solusi terdekat, termudah dan tercepat bagi warga desa Laipandak untuk merasakan kecanggihan internet di era digital kini. Jembatan yang tak hanya turut melestarikan hubungan sosial kemasyarakatan warga desa Laipandak dan Laitena, namun miliki andil besar untuk tetap mencerdaskan anak-anak negeri ditengah pandemi. Juga boleh jadi menyusutkan angka Gapnet (Gagap Internet) juga Gaptek alias Gagap Teknologi. (ion)