Waingapu.Com – “Jauh sebelum negara ini hadir, masyarakat adat sudah lahir. Masyarakat adat seharusnya tidak membutuhkan pengakuan dari negara. Tapi negara harus sadar bahwa tidak ada kemerdekaan Indonesia tanpa penghormatan, perlindungan dan pemajuan masyarakat adat.”Demikian diungkapkan Umbu Wulang Tanaamah Paranggi dalam diskusi publik bersama komunitas masyarakat adat yang dikemas dalam “Refleksi Ekologis menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-78″.
Umbu Wulang Tanamah Paranggi yang juga mencalonkan diri untuk jadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) NTT, selama ini lekat dan dikenal sebagai aktivis Lingkungan Hidup di NTT, mengajak masyarakat Indonesia terkhususnya NTT, di HUT Kemerdekaan RI ke-78, agar secara bersama-sama merefleksikan kembali perjuangan masyarakat adat dalam menjaga alam dan lingkungan hidup. Dimana sebut dia, perjuangan ekologi, menjaga kelestarian lingkungan hidup, menjaga alam, hutan dan budaya merupakan tanggung jawab semua warga negara termasuk pemerintah.
Realitas yang terlihat hari ini, lanjut dia semuanya masih menjadi jalan sunyi dan ziarah panjang perjuangan masyarakat adat. Karena itu dia mengajak untuk membuka kembali bagaimana keterlibatan masyarakat adat dalam perjuangan melawan kolonialisme, hingga mengantarkan Indonesia menjadi negara berdaulat.
“Kemerdekaan Indonesia 78 tahun lalu yang dirayakan hari ini, tidak terwujud kalau tanpa pelibatan dan kerelaan masyarakat adat untuk bahu membahu melawan para penjajah, berjuang mempertahankan tanah adat dan kedaulatan Negara,” tandasnya sembari menguraikan semuanya itu jelas terlihat dalam kisah-kisah atau catatan perjuangan masyarakat adat di setiap daerah di Indonesia sejak zaman kolonial, hingga memasuki era kemerdekaan.
“Itu semua sudah tertulis dalam kisah-kisah perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia,” tukas Putera Kananggar, Kabupaten Sumba Timur itu.
Namun sambungnya, perjuangan masyarakat adat, sejak saat itu hingga kini masih sama, yakni mempertahankan tanah adat, menjaga kelestarian hutan dan warisan budaya luhur yang kian tergerus oleh karena perluasan pembangunan, yang terus mengancam keberadaan wilayah adat.
Karenanya peristiwa 78 tahun Indonesia Merdeka harusnya menjadi momentum refleksi bersama seluruh masyarakat, khususnya di NTT terkait kondisi ekologis dan eksistensi masyarakat adat, yang kian terancam.
“Kemerdekaan hari ini, mesti diisi dengan refleksi bersama, bagiamana nasib masyarakat adat yang hingga kini masih berjuang melawan segala bentuk eksploitasi terhadap ruang hidup mereka. Bagaimana kondisi alam, tanah, air dan udara yang kita hirup, yang kian tercemar,” paparnya.
Untuk itu, Umbu Wulang melihat, betapa eksploitasi terhadap alam di NTT yang dilakukan oleh negara dalam paradigma pembangunan, senantiasa berorientasi pada penghancuran terhadap alam dan juga manusia di NTT.
Umbu Wulang menegaskan data yang dimilikinya memperlihatkan dalam 10 tahun terkahir, NTT menjadi koridor lokomotif pembangunan nasional. Baik dari sisi pariwisata, energi maupun pangan.
Kebijakan nasional ini kemudian berdampak langsung pada kehidupan masyarakat adat dan kelestarian alam NTT. Kasus agraria dan perdagangan orang NTT, juga terus melonjak drastis setiap tahunnya, karena pembangunan yang terus menguras kekayaan alam dan wilayah kelola rakyat.
“Dari sini sangat terlihat kalau negara dalam kaca mata pembangunannya, selalu menghitung apa yang akan negara dapatkan, tetapi tidak pernah menghitung apa yang akan hilang akibat dari pembangunan tersebut,” ungkapnya.
Tak hanya itu, kata dia, negara dalam orientasi pembangunannya juga mengubah masyarakat adat sebagai pemilik menjadi pekerja dan mengubah produsen menjadi konsumen atas kekayaannya sendiri.
“Hal ini terlihat dengan jelas dari konteks persoalan masyarakat adat yang sampai saat ini marak terjadi di NTT. Misalnya, konteks perjuangan masyarakat adat di Hutan Pubabu Besipae, di Kabupaten TTS yang mengambil langkah melawan pemerintah provinsi NTT dalam mempertahankan hutan Pubabu, hingga salah satu masyarakat adatnya Nikodemus Manao dikriminalisasi,” tandasnya.
Selain Besipae, komunitas masyarakat adat lainnya yang sedang melawan juga ada di Poco Leok, Kabupaten Manggarai. Saat ini, mereka tengah berjuang melawan rencana pembangunan Geothermal, yang merupakan perluasan dari PLTU Ulumbu. Perjuangan yang sama juga masih dilakukan oleh masyarakat adat Nunang, Sano Nggoang, Manggarai Barat yang saat ini juga tengah terancam rencana eksploitasi Geothermal Wae Sano. Ada juga konflik masyarakat adat di Lambo Nagekeo dalam melawan pembangunan waduk Lambo.
Dari tanah kelahirannya di Pulau Sumba, jelas Putera Penyair Umbu Landu Paranggi itu, Konflik masyarakat adat di pesisir Sumba Barat yang mengakibatkan seorang petani Poro Duka harus meninggal, setelah peluru dari senjata aparat kepolisian bersarang di tubuhnya.
Perjugan masyarakat adat di Kolhua, Kota Kupang juga sampai hari ini berjuang mempertahankan hutan Kolhua. Hutan satu-satunya yang menjadi paru-paru Kota Kupang, agar tidak digusur untuk pembangunan bendungan. Selain masalah pembangunan yang merusak lingkungan hidup dan mengancam keberadaan masyarakat adat, NTT saat ini, terang Umbu Wulang juga menjadi daerah darurat perdagangan orang.
Begitu banyak orang NTT yang menjadi korban perdagangan orang dengan modus perekrutan TKI dan TKW dengan upah layak. Tetapi dokumen pribadi dan keberangkatan mereka dipalsukan, sehingga keberadaan mereka di luar negeri terlepas dari pengawasan negara.
“Akibatnya, selama bekerja di luar negeri, mereka cenderung dieksploitasi, upahnya tidak dibayar karena sudah dibayarkan ke Calo yang merekrut mereka. Bahkan, kasarnya mereka diperbudak oleh sang Majikan. Selama bekerja, mereka juga kerap mendapatkan kekerasan dari berbagai segi. Bahkan ada yang menjadi korban kekerasan seksual,” papar Umbu.
Yang perlu juga dicermati kata Umbu Wulang, salah satu alasan terkuat mengapa orang NTT merantau meski cenderung menjadi korban perdagangan orang, dengan modus perekrutan TKI/TKW ialah karena tanah yang mestinya mereka garap untuk menghidupi kehidupan mereka, dirampas negara atas nama pembangunan.
“Mata air dan sungai yang harusnya mengalirkan air ke sawah dan kebun warga, menjadi kering, karena proyek-proyek negara yang menggusur hutan. Dengan kondisi yang kian marak ini, masyarakat NTT terpaksa tidak punya pilihan lain, selain menjadi pekerja migran di luar negeri, meski menempuh jalur non prosedural,” beber Umbu Wulang.
Hingga saat ini data Jaringan Cargo sejak Januari hingga Agustus 2023, menunjukan sudah 87 jenazah Pekerja Migram Indonesia (PMI) asal NTT yang sudah dipulangkan dalam keadaan meninggal dunia.
Realitas ini telah menunjukkan bahwa pembangunan di negeri ini, tidak hanya berorientasi pada kesejahteraan rakyat, tetapi juga berdampak pada terbunuhnya kemanusiaan.
“Jadi, memang tidak ada pengorbanan akan pembangunan seharga nyawa. Tetapi masyarakat adat NTT mengalaminya. Mereka terasingkan di atas tanahnya sendiri,” tandasnya
“Jadi, dalam refleksi saya sebagai aktivis lingkungan dan pemerhati masyarakat adat, meski sudah 78 tahun kemerdekaan Indonesia ini, sejatinya menggambarkan betapa masyarakat adat masih terus berjuang untuk kehidupan yang lebih baik,” tegasnya.
Negara urai Umbu Wulang, harus melihat bahwa masyarakat adatlah pejuang ekologis sejati, yang berperan penting dalam menjaga hutan dan lingkungan Indonesia, agar manusia Indonesia tidak kekurangan oksigen dan kehilangan ruang-ruang penghidupan.
“Selamat merayakan 78 tahun kemerdekaan Indonesia. Mari terus merdeka dengan menjaga adat, budaya dan lingkungan kita hidup. Karena hanya itulah satu-satunya warisan paling berharga dalam sejarah bangsa Indonesia, yang bisa kita wariskan untuk anak cucu kita,” pungkas pemud ayang habiskan masa remajanya di kawasan Wangga dan Payeti, Kecamatan Kambera, Sumba Timur itu. (ion)