Waikabubak, Waingapu.Com – lapas Waikabubak tak bisa dipungkiri sejak didirikan akrab dengan stigma penjara yang mengerikan di Kabupaten Sumba Barat, NTT. Anggapan itu kian didukung dengan terus tumbuhnya anggapan bahwa penjara menjadi lokasi penyiksaan masyarakat pelaku tindak pidana.
Merujuk data sensus subyek politik dan keamanan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi NTT periode 2018-2020, Sumba Barat mendapat posisi wilayah kedua setelah Kota Kupang dengan tindak pidana terhadap fisik manusia tertinggi. Hal itu diungkapkan oleh Yohanis Varianto, Kepala Lapas Kelas IIB Waikabubak.
Kendati demikian Varianto menanggapi realita itu sebagai tantangan baru dalam dalam perjalanan karirnya. Menuruutnya kondisi itu bukan menjadi persoalan baru terutaam perihal stigma negative Lapas. Perubahan sistem penjara menjadi sistem pemasyarakatan, sebut dia yang belum tersosialisasi hingga membuat masih banyak masyarakat belum memahaminya.
Pada wartawan, Varianto menguraikan, Lapas Waikabubak melalui Sub Seksi Kegiatan Kerja terus melakukan pembenahan dalam mendukung terwujudnya tujuan sistem pemasyarakatan. Upaya peningkatan keterampilan narapidana menjadi salah satu fokus utamanya. Menjalin kerjasama dengan pihak ketiga untuk memberikan pendidikan keterampilan menjadi salah satu cara pembinaan kemandirian terhadap narapida di Lapas Waikabubak.
Tidak hanya itu, upaya lain yang dilakukan Lapas Waikabubak yaitu dengan mengoptimalkan sarana dan prasarana yang ada di Lapas guna menunjang peningkatan keterampilan para narapidana. Selain itu para narapidana atau warga binaan juga diberikan tantangan baru untuk bisa menghasilkan berbagai produk bernilai jual.
“Kami sebagai keluarga besar Lapas Waikabubak awalnya berbekal tayangan di Youtube. Kemudian muncul dan terus memelihara ide-ide dan selanjutnya direalisasikan. Kini yang dikembangkan adalah hasil keterampilan dengan pemanfaatan bambu sebagai bahan utama yang menajdi fokus ketrampilan warga binaan,” jelas Varianto.
Untuk diketahui, Lapas Waikabubak memiliki lahan kosong kurang lebih 4 hektar diluar kantor dan bangunan lainnya. Lahan inilah yang kemudian dimanfaatkan atas ide Yohanis Varianto dalam pembangunan Sarana Asimilasi dan Edukasi (SAE) bagi para narapidana. Bukan hanya itu, menjadikan ini sebagai salah satu destinasi agrowisata Sumba Barat adalah mimpi terbesarnya.
Perlahan namun pasti impian itu menjadi nya, Kafe Kapal ‘Janji Bui; menjadi proyek terbesar yang dikonsepkan Varianto kini telah beroperasi. Dikerjakan hampir setahun lamanya, Kafe kapal saat ini sudah mulai beroperasi bagi masyarakat umum. Lokasi ini kini menjadi salah satu lokasi makan pilihan warga Waikabubak dan sekitarnya bahkan wisatawan dari luar Sumba Barat. Bentuk dan letaknya yang tak lazim tentu menjadi day tarik tersendiri baik pada saat siang maupun malam, tempat inipun instagramable.
Bagi yang ingin merasakn keramahan dan sensasi yang khas dari Kafe Kapal Janji Bui ini bisa langsung mengunjunginya. Letaknya berada tepat di depan Kantor Lapas Waikabubak, dan dikelola bersama dengan Dharma Wanita Persatuan (DWP) Lapas Waikabubak.
Yaa kafe ini menjadi salah satu lokasi asimilasi warga binaan, dimana dijadikan salah satu sarana untuk membaurkan narapidana dengan masyarakat (reintegrasi).
“Narapidana ata warga binaan yang telah memenuhi syarat asimasilasi tidak saja dibekali keterampilan dalam pengelolaan makanan dan minuman, tapi melalui proses ini mereka diharapkan dapat membentuk karakter yang percaya diri untuk kembali kepada keluarga dan masyarakat,” tandas Varianto.
Kafe Kapal Janji Bui merupakan hasil terbesar yang diperoleh melalui proses pembinaan Lapas Waikabubak. Selain itu, di Lapas ini dan juga di Kafe ini pengunjung bisa membeli produk kerajinan yanfg menarik hasil karya warga binaan. Bentuknya beragam mulai dari miniatur kapal, miniatur rumah adat, tumbler, kap lampu, stand holder hp, tempat kapur sirih, pulpen, pemukul gong, aksesoris kelengkapan pakaian adat Sumba Barat seperti ikat pinggang dan kaleku (tas tradisional warga sumba yang digunakan untuk menyimpan sirih pinang), aksesoris berbahan tanduk mulai dari cincin hingga kalung, serta pintalin tali.
“Nanti akan terus dikembangkan, semoga tempat ini bisa melahirkan pengrajin nantinya yang bisa menhasillkan karya untuk hidupi diri dan juga tentunya keluarga, juga membawa manfaat lebih luas lagi bagi warga binaan sekembalinya di masyarakat nantinya,” pungkas Varianto (ion)