MENGAPA KUALITAS IPM ORANG SUMBA RENDAH?

oleh
oleh

Dalam konstelasi kesejahteraan tingkat regional di NTT, posisi ke-empat kabupaten di Pulau Sumba memprihatinkan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada pada posisi 17 – 20 di antara 21 Kabupaten di NTT. Yakni,hanya mencapai antara 61,70 – 64,88 dibandingkan dengan rata-rata NTT yang sudah mencapai 68,28. Bila dicermati pergerakan IPM untuk naik satu tingkat butuh waktu lebih kurang 2 – 3 tahun. Asumsinya, bila ingin mencapai rata-rata NTT butuh waktu tidak kurang dari 8 – 12 tahun atau setara dengan dua periode kepemimpinan kepala daerah.

Rendahnya IPM merefleksikan rendahnya kualitas pendidikan, kesehatan maupun perekonomian masyarakat yang merupakan komposit pembentuk IPM. Tengok saja rata-rata usia sekolah di Sumba Barat baru mencapai 6,44 tahun dan 6,26 tahun di Sumba Timur. Sementara Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah masih di bawah 6 tahun,atau berada satu tingkat dari rata-rata NTT yang sudah mencapai 7,05 tahun. Pada sektor kesehatan usia harapan hidup baru mencapai 62,23 tahun, sementara rata-rata NTT telah mencapai 67,75 tahun.Pada sektor ekonomi, masalah kemiskinan menempatkan ke-empat kabupaten ini sebagai kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di NTT yang mencapai lebih kurang 30 persen(BPS NTT, 2013).

Baca Juga:  Budaya Baca Masyarakat Indonesia Minim, Apakah Berpengaruh pada Masa yang akan Datang?

Namun dibalik tingkat kemiskinan yang tinggi terjadi sebuah paradoks di Sumba Timur. Pada satu sisi, kabupaten ini mampu mencatatkan dirinya dalam kelompok kabupaten dengan tingkat pendapatan perkapita kategori tinggi di NTT yang mencapai 7,6 juta. Pada sisi lain, angka kemiskinannya masih tercatat sebagai kabupaten dengan tingkat kemiskinan tinggi. Fakta ini mengonfirmasi betapa besarnya gap sosial antara penduduk kaya dan miskin. BPS NTT (2013) merilis indeks kedalaman kemiskinan di Sumba Timur mencapai6,93 dan indeks keparahan 2,35 melampaui rata-rata NTT yang hanya mencapai 3,47 dan 0,91.

APBD Tidak Berorientasi Publik.

Penyebab utama rendahnya kualitas IPM ke-empat kabupaten di atas terletak pada paradigma birokrasi dalam mengelola APBD, bukan pada visi-misi bupati, karena semua visi-misi bupati selalu berbicara tentang peningkatan kesejahteraan warga. Bukan pula karena kurangnya APBD, justru dalam kurun waktu empat tahun terakhir laju pertumbuhan APBD di ke-empat kabupaten ini mencapai lebih kurang 8,7 persen.

Baca Juga:  CINTA YANG BERSEMI DI BUALA HAPPA

Postur APBD setiap tahun selalu menampilkan belanja aparatur (tidak langsung) lebih besar dari pada belanja publik (tidak langsung). Postur yang seperti inimencerminkansebuah tipikal orientasi keberpihakan birokrasidalam penyelenggaraan pembangunan daerah. Birokrasi masih diposisikan sebagai subyek utama pembangunan sehingga mengambil porsi lebih besardalam pemanfaatan APBD. Sementara itu, sebagian besar belanja birokrasi berorientasi pada pemenuhan fasilitas birokrasi yang konsumtif antara lain; kelengkapan kantor, kendaraan dan perjalanan dinas.Akibatnya utilitas APBD untuk kepentingan publik rendah dan tidak produktif, bahkan belanja aparatur menjadi beban bagi APBD.

Diperparah lagi, keberadaan fasilitas birokrasi bukan sebagai penunjang kinerja guna meningkatkan pelayanan publik. Dalam banyak kasus, pemanfaatan fasilitas birokrasi mengaburkan batasan antara sebagai penunjang urusan kepublikan atau melayani kepentinganpribadi birokrat. Akibatdari praktik ini, karakter birokrasi yang impersonal sebagai tipe ideal birokrasi rasional Weber(Ritzer, 2012), semakin jauhdari harapan. Bahkan, sudah sampai pada tahapan yang patologis (Siagian, 1994) jika melihat perilaku birokrasi dalam pemanfaatan sumber daya publik.

Baca Juga:  Esok Temanku Akan Diwisuda, Aku???

Spirit Kepublikan Pemimpin Daerah

Menghadapi persoalan-persoalan di atas,dibutuhkan kepemimpinan daerah yang memiliki spirit kepublikan yang sensitif terhadap permasalahan publik. Yaitu; pertama, suatu sikap kepemimpinan yang mampumerubah paradigma birokrasi dalam mengelola anggaran publik agar berorientasi publik. Kemudian menyembuhkan penyakit patologis dalam birokrasiyang selama ini menggerogoti spirit kepublikannyasebagai alat pelayanan.Kedua, kepemimpinan yang berani melakukan tindakan afirmatif agar anggaran publik berorientasi publik,lebih dari itu, harus berorientasi pada program-programhakiki dan produktif yang manfaatnya dirasakan langsungoleh banyak orang. Model kepemimpinan yang seperti ini yangdibutuhkan guna mempercepat kesejahteraan wargaagar tidak semakin tertinggal dalam konstelasi regional.[*]

*] Stepanus Makambombu, Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan UKSW dan Staf pada Stimulant Institute Sumba, bidang Studi dan Advokasi Kebijakan Publik.

Komentar