Meniti Setapak, Melintas Sabana, Menuju Lubang Harapan

oleh
oleh

Waingapu.Com – ‘Sekarang sumber air suu dekat’ itulah penggalan kalimat sukacita yang pernah terlontar spontan dari warga salah satu daerah di wilayah Propinsi Nusa

Tenggara Timur (NTT) pasca air bersih telah mudah untuk diperoleh. Namun tidak demikian halnya bagi warga dusun Ngadu Jangga, Desa Pambotadjara, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim). Sumber air itu masih nun jauh disana.

Musim kemarau seperti sekarang ini kian mempertegas sulitnya warga untuk mendapatkan air bersih guna kebutuhan harian keluarga. Perjalanan panjang nan melelahkan harus dilakukan untuk mendapatkan bening dan segarnya ‘sang tirta’ itu.

Perlu perjuangan untuk menuju dan mendapatkan air bersih, selain harus meniti hamparan padang sabana yang cukup panjang, juga harus mendaki dan menuruni ngarai. Demikian kondisi yang ditemui kala bersama warga menyusuri rute yang akrab mereka lalui untuk mendapatkan air pekan silam.

Tak hanya meniti jalan setapak yang membela sabana, juga ngarai dan tebing yang harus diuruni dan didaki, kesabaran juga kembali harus diuji ketika tiba di sumber air. Jangan membayang sumber air yang dituju adalah keran leding, sungai ataupun sumur, sumbernya hanyalah lubang pada tebing berkemiringan sekira 45 derajat yang lebarnya sekira 50 centimeter.

Yaaa, kesabaran memang teruji dan tersa disini, karena untuk mengambil airnya harus mengantri. Tak hanya itu, airnya juga sepertinya hanyalah rembesan, hingga pasca mengisi jerigen ukuran 10 liter, harus menunggu lagi beberapa saat barulah bisa lubang pada tebing ini kembali terisi air.

“Tiap hari begini sudah kalau musim kemarau. Biasanya kita kesini sore – sore atau pagi-pagi. Hanya kalau musim hujan baru kita tidak kesini,” ujar Christina (32), seorang ibu rumah tangga yang ditemui bersama dua ponakannya kala mengambil air di lubang tebing yang lokasinya di sebut Lunggi Wai itu.

Perjalanan pulang adalah yang kian mempertegas perjuangan itu. Yaaa, dengan beban jerigen berisi air mulai lima liter hingga duapuluh liter, yang dipikul di pundak, kepala atau dijinjing, rute yang sama harus kembali dilalui.

Keharusan untuk menempuh padang sabana, mendaki dan menuruni ngarai dengan total jarak hampir delapan kilometer dan juga mengantri memang tak bisa dielak. Karenanya tidak jarang, saat hari menjelang senja dan bahkan mentari telah beranjak ke peraduan, barulah kaki-kaki warga kembali menapaki halaman perkampungan untuk kemudian berbagi sukacita kembali dengan anggota keluarga di rumah masing-masing.

“Saya sekali datang bawa pulang air empat puluh liter. Capek sebenarnya, tapi kalau saya tidak datang ambil, kita mau minum darimana lagi,” jelas Arni Kahi (28), ibu beranak satu, ketika ditemui kala sedang beristirahat sejenak diparuh perjalanan pulang.

Inilah potret perjuangan panjang dan keras untuk mendapatkan air bersih. Kondisi yang seakan kontras dengan perilaku pemborosan air yang masih terus terjadi dibeberapa wilayah negeri ini, dimana pemanfaatannya cenderung jauh dari kata efektif dan pelestarian.(ion)