Waingapu.Com – Kembali ke Umbu Mbora terkait dengan besaran biaya yang diperlukan untuk kembali membangun atau merevitalisasi Praingu Lewa Paku seperti bentuk
semula atau mendekati bentuk semula, diakuinya membutuhkan dana cukup besar.
“Kalau dulu kan di sini ada 36 rumah, itu mewakili hampir tigapuluhan kabihu atau marga. Ukuran rumahnya bervariasi, namun tidak kurang dari 12 X 14 meter. Terkait dengan niat saya juga komunitas ini untuk revitalisasi ini, kami beberpa kali menggelar pertemuan dan membentuk pengurus. Dalam pertemuan itu hadir 12 perwakilan dari 12 Kabihu atau marga. Nantinya jika ada jalan dan bantuan dana dari donator, minimal akan dibangun miniature rumah adat bagi 12 marga itu,” paparnya seraya memastikan dana untuk itu tentu menyentuh angka miliaran rupiah.
Dari dana yang ada juga nantinya akan dibuatkan sanggar tari, kerajinan dan pembiayaan atraksi permainan khas sumba bagi para pengunjung di Kampung atau praingu Lewa paku itu.
”Ada permainan katiku ahu, pamakang atau gasing, lona atau tarik tambang, pamotung atau congklak. Koja rumba atau permainan tombak mengunakan batang rerumputan yang tajam, atraksi palapang njara atau pacuan kuda, dan pembelian gong dan tambur, kain tenun, giring-giring dan senjata seperti parang dan tombak untuk peralatan menari,” paparnya.
Komunitas ini juga nantinya akan menggandeng agen-agen pariwisata untuk membantu mempromosikan kekhasan Praingu Lewa Paku.
Adapun KRKAPLP ini berdiri sekira dua tahun silam. Kini komunitas ini telah terbentuk dengan kepengurusannya. Umbu Mbora selaku ketua, Marten Njenji Njawa (Wakil Ketua), Herlina Rambu Rada (Sekretaris), Marianus Ratu Ndima (Bendahara).
Dominggus Ndaha Ngongu (50) ketika ditemui sedang berisritahat usai membantu memahat dan menghaluskan tiang rumah (uma Mbakukulu) yang hendak dibangun menjelaskan dirnya sebenarnya merupakan penduduk Kampung Kambata Wundut (sekitar 20 km dari praingu Lewa Paku).
”Saya dari kampung Wundut, namun karena ada kaitan erat dengan kampung ini saya diminta dan datang membantu membangun. Tentunya saya juga akan senang jika nantinya rumah dan kampung ini kembali berdiri dan punya penghuni. Bisa saja ini menjadi jalan awal menuju pemeliharaan kampung-kampung adat lainnya seperti halnya kampung saya di Kambata Wundut. Umbu Komang Irawan Pekaata (22) seorang pemuda yang saat Praingu Lewa paku ini dikunjungi Nampak sedang asyik memotret menjelaskan, kedatangannya hanya karena rasa penasaran. ‘Saya hanya penasaran saja dengan cerita-cerita orang tua saya tentang Praing ini. Katanya ada kampung di tengah hutan, ternyata betul, dulu saya tidak berani datang karena tidak ada rumah penduduk. Tapi karena saya dengar sudah ada rumah dan Om Umbu Mbora sudah tinggal di sini jadi saya berani datang dan bisa melihat langsung warisan budaya disini,” jelas Umbu Pekaata seraya menyarankan agar nantinya praingu lewa paku ini bisa dilengkapi dengan sarana air bersih dan MCK yang memadai.
“Kalau bisa nanti lebih banyak bak penampung air atau bisa juga air dialirkan dari bawah dengan tenaga surya. Sehingga untuk keperluan MCK dan air bersih warga dan pengunjung bisa terpenuhi dengan layak,” harapnya.
Ama Mbara (76) yang menempati satu rumah tradisional di Praingu Lewa paku itu dengan bahasa Indonesia terbata-bata menjelaskan fungsinya di kampung itu.
“Saya tugasnya memimpin upacara atau sembayang adat. Saya akan tetap di sini hingga nanti saya mati,” ujarnya ketika ditemui di kediamannya yang dikelilini pagar batu bersusun itu.
Pelestarian rumah adat khas Sumba, juga kampung-kampung adat sejatinya merupakan impian dan harapan tulus di hati setiap warga asli Sumba. Namun besarnya biaya untuk itu menjadikan harapan itu hanyalah sebatas impian yang masih jauh dari realita. Peran pemerintah dan juga kepedulian donatur masih menjadi tumpuan harapan.(ion)