Riuh persaingan dalam pemilihan umum legislatif Sumba Timur sudah tidak terdengar, berganti dengan sorak-sorai kemenangan maupun tangis pilu kekalahan. Peran sebagai penyusun hukum dan undang-undang yang diperebutkan sekian banyak orang telah ditentukan. Segala jerih payah yang dikeluarkan, kampanye hitam maupun putih, politik jujur maupun politik uang, terbayar lunas dengan kursi panas dan dingin. Kursi panas di parlemen untuk yang berhasil melenggang ke jajaran perwakilan rakyat, kursi dingin di rumah untuk yang kurang beruntung untuk merepresentasikan rakyatnya. Bagi yang mendapatkan kursi panas, jangan harap bisa memanfaatkannya untuk menumpuk rupiah dalam dompet atau menimbun lemak dalam perut. Setumpuk pekerjaan rumah yang disisakan oleh legislator periode sebelumnya telah menanti.
Pancasila telah sekian lama menjadi dasar bagi segenap elemen negara untuk bermasyarakat. Lima sila ini susah kita lupakan teksnya, karena semenjak kita berseragam putih-merah, kita telah melafalkannya sebanyak ratusan bahkan ribuan kali. Ironisnya, pelaksanaannya tidak selalu berbanding lurus dengan pelafalannya. Pengamatan penulis saat menjadi fasilitator masyarakat di pesisir pantai selatan Sumba Timur pada tahun 2012 – 2013, masih banyak praktik yang tidak mencerminkan penegakkan dasar negara, terlebih khusus pada sila ke-5. Contoh pertama, seorang anak dari kelas sosial dan ekonomi yang lebih rendah tidak diijinkan untuk berada di satu tingkat pendidikan (satu kelas) dengan anak dari kelas sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Contoh kedua, individu yang mengalami ketidak-mampuan (disabilitas) mental, tidak menemukan dirinya dibawa ke pusat pelayanan kesehatan terdekat, namun diikat dan dirantai pada kandang terdekat, makan bersama-sama dengan hewan penghuni kandang tersebut.Kedua praktik ini hanya contoh kecil dari banyak perilaku yang mencerminkan ketidak-adilan sosial lainnya, bagai tanaman yang terpelihara di dalam kehidupan bermasyarakat, terpupuk oleh ketidak-tahuan, tersiram oleh kebiasaan, dan menghasilkan buah-buah beraroma tidak sedap yang mencoreng kedigdayaan bangsa Indonesia.
Ketidak-adilan sosial ini tentu harusnya meresahkan segenap rakyat Sumba Timur, terlebih wakil-wakilnya yang baru saja terpilih. Wakil yang terusik akan berusaha sekuat mungkin untuk kembali keadilan sosial bagi seluruh rakyat Sumba Timur. Tentu saja ini hanya hipotesa pertama. Hipotesa kedua adalah banyak wakil rakyat yang menikmati ketimpangan sosial ini, memetik keuntungan darinya, sehingga membiarkan praktik-praktik ini terjaga di tatanan masyarakat. Hipotesa ketiga adalah, wakil rakyat hanyalah boneka tangan dari penguasa sesungguhnya, yang duduk manis di singgasananya sendiri, ditopang oleh kehidupan sosial yang berat sebelah, yang menguntungkan dirinya beserta seluruh sanak keluarganya. Semua hipotesa ini hanya dugaan semata, yang bisa dipatahkan dengan upaya bersama para legislatif terpilih untuk merancang regulasi-regulasi yang menertibkan keadilan sosial di seluruh lini kehidupan masyarakat.
Satu masalah yang diangkat penulis hanya potongan kecil dari deretan problema lain yang senantiasa menghantui kehidupan di Sumba Timur. Pertanyaan yang muncul adalah, mampukah penghuni kursi panas menyelesaikan polemik ini dengan apik? Atau akankah mereka terjebak dalam nikmatnya keuntungan yang muncul dari ketidak-mampuan masyarakat lemah? Tugas kita sebagai rakyat yang diwakili adalah mengawal mereka. Sisanya, biar waktu yang menjawab.[*]
*] Indra Yohanes Kiling, Dosen Psikologi Universitas Nusa Cendana