Pendahuluan
Perkawinan dengan cara bawa lari Perempuan (Kedu Ngidi Mawinne) merupakan perkawinan apabila pihak laki-laki yang menyukai seseorang gadis dan berniat untuk mempersunting gadis tersebut di tolak/tidak di terima karena berbagai alasan. Kemudian pihak laki-laki akan merencanakan penculikan terhadap gadis tersebut, pada umumnya dengan melibatkan kenalan dan atau sanak saudara pihak laki-laki. Setelah proses penculikan tersebut berlangsung maka pihak keluarga laki-laki akan mengutus orang untuk memberitahukan kepada keluarga gadis untuk segera dilakukan prosesi perkawinan karena si gadis sudah ada dalam penguasaan keluarga laki-laki.Utusan yang di kirim oleh keluarga pihak laki-laki ketika menghadap keluarga si gadis langsung membawa persembahan kepada keluarga si gadis biasanya dalam bentuk hewan ternak yang lazim digunakan yakni sapi,kuda dan kerbau bisa mencapai belasan ekor. Persembahan ternak berupa kuda, sapi dan kerbau tersebut diberikan sebagai permohonan maaf karena pihak keluarga laki-laki sudah lancang masuk kerumah keluarga si gadis untuk menculik si gadis.
Utusan yang di kirim untuk memberitahukan maksud dari keluarga pria tersebut salah satu tujuannya pula adalah untuk mengetahui respon apa yang diberikan oleh keluarga si gadis, apakah setuju dengan pernikahan ataukah menolak perencanaan pernikahan tersebut dengan menjemput kembali si gadis. Kebiasaannya yang terjadi adalah Kedu Ngidi Mawinne mampu untuk memberikan mahar/Belis dengan nilai hingga ratusan juta rupiah dalam bentuk ternak dan benda-benda miliki nilai ekonomi tinggi untuk ukuran masyarakat Sumba.
Pada umumnya perkawinan bawa lari adalah bentuk perkawinan yang tidak di dasarkan bentuk perkawinan yang tidak didasarkan persetujuan lamaran orang tua, tetapi berdasarkan kemauan sepihak atau kemauan kedua belah pihak yang bersangkutan. Bertalian dengan permasalahan kawin lari, bahwa perkawinan ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan dari akibat perkawinan dengan cara pelamaran atau peminangan, atau juga untuk menghindarkan diri dari pihak orang tua sanak dan saudara yang terutama datangnya dari pihak orang tua perempuan.
Perkawinan bawa lari perempuan (Kedu Ngidi Mawinne) yang terjadi di Sumba barat merupakan kekaburan norma hokum. Tindakan perkawinan lari merupakan tindakan yang melanggar hukum perkawinan, apabila seseorang pria yang sudah melakukan perkawinan lari (Pakondang) harus berani untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Karena pada umumnya perbuatan kawin lari merupakan perbuatan yang melanggar hukum adat, melanggar kekuasaan orang tua dan kerabat pihak gadis.
Namun demikian dikarenakan masyarakat adat itu berpegang teguh pada azas kerukunan dan kedamaian, maka perbuatan kawin lari itu dapat dimaafkan dengan penyelesaian perundingan kerabat kedua belah pihak.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pendekatan normatif yaitu dengan melakukan penelitian terhadap Hukum adat dan peraturan perundang-undang tentang UU Perkawinan No 1 Tahun 1974
Permasalahan
Kedu Ngidi Mawinne dilakukan apabila pihak laki-laki yang menyukai seorang gadis dan berniat untuk mempersunting gadis tersebut di tolak/tidak di terima karena berbagai alasan, kemudian pihak laki-laki akan merancang kan penculikan terhadap gadis tersebut, pada umumnya dengan melibatkan kenalan dan atau sanak saudara pihak laki-laki. Setelah proses penculikan tersebut berlangsung maka pihak keluarga laki-laki akan mengutus orang untuk memberitahukan kepada keluarga gadis untuk segera dilakukan prosesi perkawinan karena si gadis sudah ada dalam penguasaan keluarga laki-laki. Utusan yang dikirim oleh keluarga pihak laki-laki ketika menghadap keluarga si gadis langsung membawa persembahan kepada keluarga si gadis biasanya dalam bentuk hewan ternak yang lazim digunakan yakni sapi, kuda,dan kerbau bisa mencapai belasan ekor.
Persembahan ternak berupa kuda dan sapi tersebut diberikan sebagai bentuk permohonan maaf karena pihak keluarga laki-laki sudah lancang masuk ke rumah keluarga si gadis untuk menculik si gadis. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menurut pengamatan penulis juga ikut mempengaruhi keluarga si gadis yang di culik menyetujui pernikahan bawah lari tersebut.
Kasus Perkawinan Bawah Lari (Kedu Ngidi Mawinne) di kabupaten Sumba barat (Pihak gadis ) dari Desa A (Pihak laki-laki).
Kedudukan kepala adat dalam penyelesaian perkawinan bawah lari (Kedu Ngidi Mawinne) di Kabupaten Sumba Barat :
Pembahasan
Secara garis besar perlu di jelaskan secara singkat bahwa kepala adat memiliki kedudukan dan peran penting dalam melaksanakan penyelesaian perkawinan bawah lari (Kedu Ngidi Mawinne) sebagai seorang hakim adat di Desa B, Sumba Barat kedudukan kepala adat sebagai hakim adat ini dapat dilihat pada salah satu kasus yang terjadi di Desa A, Sumba Barat seorang gadis yang di bawah lari oleh laki-laki dari desa A
Kepala adat dari Desa A menerangkan bahwa lembaga adat Desa A merupakan lembaga tertinggi sehingga kepala adat memiliki kewenangan untuk menyelesaikan bawa lari.
Dengan keberadaan dari lembaga adat yang di anggap tertinggi oleh masyarakat Desa A maka masyarakat mempercayai tokoh kepala adat yang miliki kewenangan dan pantas untuk di percayai melakukan penyelesaian perkawinan bawah lari (Kedu Ngidi Mawinne) serta menentukan jumlah denda adat yang harus diberikan kepada pihak keluarga atau atau orang tua perempuan sebagai tanda permohonan maaf karena telah menculik atau membawa lari gadis untuk dinikahi.
Upaya penyelesaian perkawinan bawah lari (Kedu Ngidi Mawinne) secara Hukum adat di Desa A, Sumba Barat.
Dengan beberapa responden baik itu tokoh adat, tokoh masyarakat maupun pihak orang tua dari laki-laki dan pihak orang tua perempuan disampaikan pada saat terjadi suatu kasus Kedu Ngidi Mawinne atau kawin tangkap bawa lari, setelah korban dalam hal ini perempuan sudah di bawah dan sampai di rumah laki-laki di situ dari pihak keluarga laki-laki kemudian akan akan mengutus tokoh adat untuk memberitahukan kepada tokoh pemerintah setempat bahwa si perempuan anak bapak A dari desa B berada di desa C dirumah bapak D karena di bawa lari (Kedu Ngidi Mawinne) dan sekaligus memberitahukan maksud mereka dimana pihak keluarga laki-laki akan datang untuk meminta maaf atas tindakan yang telah mereka lakukan terhadap anak gadis bapak A desa B dan sekaligus membawa hewan untuk lanjutkan acara perkawinan, kemudian pemerintah dari wilayah pelaku memberitahukan kepada pemerintah setempat asal si si perempuan dan dari pihak pemerintah tersebut meneruskan kepada orang tua perempuan.
Apabila orang tua korban tidak menerima atas perbuatan pelaku yang dilakukan terhadap anak perempuan mereka maka orang tua pelaku akan melapor ke aparat kepolisian, setelah itu pihak kepolisian bersama dengan orang tua korban dan keluarga ke rumah pelaku untuk mengambil kembali korban dan pelaku akan di tuntut karena melakukan tindakan tersebut. Pada umumnya jika terjadi hal seperti ini maka dari pihak kepolisian akan menyerahkan kembali kasus ini kepada tokoh adat untuk di selesaikan secara adat maka dari itu pelaku tersebut akan membayar denda adat, namun jika orang tuanya menerima dengan baik, maka sesuai dengan kebiasaan masyarakat adat Sumba Barat ketika terjadi suatu kasus Kedu Ngidi Mawinne seperti ini akan adanya penyesuaian melalui Hukum adat setempat dengan melewati beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Ngidi pamama
Tahapan ini semacam acara lamaran dimana pihak laki-laki datang ke kediaman pihak perempuan untuk menyatakan maksud mereka dengan membawa siri pinang dan 1 ekor kuda. Dan pihak perempuan akan membalas dengan memberikan sepasang kain tenun dan seekor babi (Yang disembelih saat itu juga) sebagai tanda persetujuan. Pada kesempatan kedua belah pihak ini kedua belah pihak mulai merancang tahapan negosiasi berikutnya dan menentukan tanggal pertemuan selanjutnya.
2. Weri kawedo
Pada tahap ini pihak laki-laki datang kekediaman ke pihak perempuan dengan membawa setidaknya 1 atau 5 ekor hewan baik kuda maupun sapi, maksud kedatangan mereka untuk melakukan pembicaraan penting seputar Belis (mas kawin) yang harus di bayarkan. Dalam proses negosiasi mengenai besaran jumlah belis ini baik dari pihak laki-laki maupun perempuan masing-masing diwakili oleh beberapa orang guru bicara adat atau biasa dikenal dengan wunang dan merekalah sesungguhnya berhadap-hadapan melakukan pembicaraan adat lalu bolak-balik dengan pihak keluarga mengenai besaran jumlah belis yang akan diberikan.
Permintaan akan belis dinyatakan secara simbolis dengan kain tenun ikat yang di letakkan di atas tempat siri pinang lalu di sajikan di depan wunang selembar kain sarana dengan 10 ekor hewan dan 2 lembar kain berarti 20 ekor hewan. Proses negosiasi bisa memakan waktu berjam-bahkan ada yang yang sampai tengah malam, dimana pengaruh keluarga besar sering mempersulit pengambilan keputusan kesepakatan di capai. Pihak wanita akan memberikan 1 ekor babi yang akan di potong saat itu juga lalu dagingnya dibagikan kepada seluruh peserta sebagai tanda kesepakatan.
3. Dutu Mawinne
Secara harfiah berarti mengiring perempuan atau lebih tepat mengiring mempelai wanita untuk berpindah kediaman suaminya (Dutu Mawinne) bisa melaksanakan bersama dengan tahap sebelumnya jika pada saat itu Belis di bayar lunas tapi yang lebih sering selepas beberapa hari atau beberapa Minggu.
Akibat Hukum Yang Di Hasilkan Dari Kesepakatan Melalui Hukum Adat Oleh Parah Pihak Dalam Kasus Kedu Ngidi Mawinne (Kawin Bawah Lari Perempuan) Di Kabupaten Sumba Barat.
Pada dasarnya suatu kesempatan yang di hasilkan oleh lembaga hukum adat tentunya memiliki suatu akibat hukum.Dalam hal perkawinan bawah lari perempuan (Kedu Ngidi Mawinne) ini akibat hukum yang di hasilkan berdasarkan penyelesaian melalui lembaga adat yakni dengan dikenakan denda kepada pihak laki-laki berupa hewan dan sebuah parang.
Denda atau sanksi adat yang dikenakan kepada pihak laki-laki merupakan hasil dari suatu perundingan parah tokoh adat di Desa Modu Waimaringu secara umumnya penentuan denda atau sanksi adat ini tidak diatur secara tertulis,hal ini dikarenakan hukum adat yang berlaku di Kabupaten Sumba Barat sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat adat Sumba.
Dalam proses pembayaran denda atau sanksi adat dilibatkan seorang juru berbicara (Wunang) Masing-masing berjumlah dua orang dari pihak keluarga perempuan maupun pihak keluarga tugas dari juru bicara (Wunang) yakni untuk menyampaikan permintaan dari pihak keluarga perempuan kepada pihak orang tua laki-laki melalui perantara juru bicara dari pihak keluarga laki-laki.
Untuk dapat memahami perbandingan dalam penyelesaian perkawinan bawah lari menurut hukum adat dan Undang-Undang No 1 Tahun 1974
1. Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa
- Hukum adat. Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang melibatkan orang tua, keluarga, dan suku.
- Tujuan perkawinan menurut undang-undang No.1 Tahun 1974 telah di rumuskan sangat ideal karena tidak hanya melihat dari segi lahir saja melainkan sekaligus terdapat suatu pertautan batin antara suami dan istri yang di tujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang maha esa.
- Tujuan perkawinan dalam Hukum adat bagi masyarakat adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibubapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga atau kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya, kedamaian dan untuk mempertahankan warisan.
2. Undang-Undang
Penyelesaian kawin bawa lari dapat diselesaikan melalui kelembaga pengadilan agama.
3. Hukum adat
Penyelesaian kawin lari dapat diselesaikan secara adat di hadapan tokoh adat dengan ketentuan yang berlaku di daerah tersebut.
Berkaitan dengan proses penyelesaian kasus Kedu Ngidi Mawinne ini yang berdasarkan pada ketentuan Hukum adat yang berlaku, Penulis menyarankan agar dalam proses penyelesaian kasus ini diharapkan harus benar-benar sesuai dan berdasarkan pada ketentuan Hukum adat,yang mana penyelesaian kasus ini akan berujung pada perdamaian.Hal ini untuk mencegah adanya konflik baru yang muncul di kemudian hari akibat kasus ini.
Penulis: Artono Bali Peka Lero, Mahasiswa Program Studi PPKn Universitas PGRI Kanjuruhan, Malang