Autopsi Marselinus Jadi Simbol Perlawanan Keluarga, Agar Tegaknya Hukum dan Rasa keadilan

oleh
Ana Awa Konda Meha tidak terima hanya dua orang yang jadi TSK pengeroyokan Marselinus suaminya hingga meninggal dunia-Foto Kolase: Waingapu.Com

Waingapu.Com-Autopsi jenazah Marselinus Mb. Ndapatamu bukan sekadar prosedur medis. Bagi keluarganya, langkah itu adalah simbol perlawanan terhadap rasa ketidakadilan yang mereka rasakan dalam penanganan kasus kematian yang diduga akibat pengeroyokan.

Kamis (4/12/2025) siang lalu, puluhan keluarga mendatangi sekitaran ruang jenaszah RSUD Umbu Rara Meha. Tangisan dan doa mengiringi proses autopsi. Istri korban, Ana Awa Konda Meha dan kerabatnya berada tidak jauh dari kamar jenazah.

“Kami ambil langkah autopsi supaya jelas penyebab kematian dan supaya hukum berjalan adil,” kata Ana Awa kepada wartawan.

Ia menilai, penetapan dua tersangka oleh polisi belum mencerminkan fakta di lapangan. Menurut kesaksian keluarga dan anak-anak korban, Marselinus dikeroyok oleh lima orang pada 25 November 2025 lalu hanya sekira 50 meter dari rumahnya.

“Anak saya lihat sendiri. Bahkan ada istri pelaku yang mengakui suaminya ikut pukul suami saya,” ungkapnya.

Peristiwa itu bermula ketika Marselinus tak kunjung pulang usai diminta membeli kebutuhan rumah tangga. Kedua anaknya yang mencari sang ayah justru menyaksikan kekerasan itu. Da sati diantaranya pulang melaporkan ke rumah.

Saat Ana Awa tiba di lokasi kejadian, suaminya sudah dalam kondisi mengenaskan. Tubuhnya terkapar, muntah, dan nyaris tak sadarkan diri.

“Tidak ada yang bantu. Padahal lihat sendiri dia sudah tidak berdaya,” katanya.

Korban sempat mendapatkan perawatan medis, namun nyawanya tak tertolong. Ia meninggal sehari setelah kejadian.

Dalam perkara ini, polisi menetapkan Lamber dan Niko sebagai tersangka dan menahan keduanya. Namun tiga nama lain yang disebut keluarga belum ditahan, meski disebut berada di Polres Sumba Timur.

“Kami tahu mereka ada di Polres, tapi tidak ditahan. Itu yang membuat kami tidak puas,” tegas Ana Awa.

Keluarga mengaku telah bersabar menunggu itikad baik para pelaku. Namun karena tak ada tanggung jawab maupun permintaan maaf, mereka memilih menempuh jalur hukum secara penuh.

“Kami hanya ingin keadilan. Semua yang terlibat harus bertanggung jawab,” pungkasnya diamini dengan penuh haru dan air mata oleh kerabat yang mendapingi kala itu (ion)

Komentar