Belis, Banjir, dan Tambang Pasir: Suara Rakyat Menggema dari Stella Maris Sumba

oleh
Diskusi Ekologis bertema “Urgensi Keadilan Ekologis di Loda Wee Maringi Padda Wee Malala, SBD-Foto: istimewa

Tambolaka, Waingapu.Com-Diskusi publik di Aula Universitas Stella Maris Sumba, Rabu (10/5/2025), tak hanya membicarakan hutan dan laut. Forum bertema “Urgensi Keadilan Ekologis di Loda Wee Maringi Padda Wee Malala” itu juga jadi wadah rakyat bicara blak-blakan: dari budaya belis, pupuk, irigasi, hingga tambang pasir.

Muhammad Ali, warga Kathewel, menyoroti masalah ekonomi nelayan. Sementara mahasiswa Unmaris bernama Risna menanyakan sikap pemerintah terkait maraknya tambang pasir ilegal. Anton, seorang tokoh masyarakat, mengeluhkan dampak pestisida dan minimnya sosialisasi soal pertanian berkelanjutan.

Jawaban beragam mengalir dari pemerintah, aktivis, hingga akademisi. Kadis Lingkungan Hidup SBD menegaskan telah meneken MoU untuk mengatur penambangan pasir, meski diakui pengawasan masih lemah. Ia menekankan program penghijauan dan pengelolaan sampah harus terus ditingkatkan.

Aktivis perempuan, Yanti, menilai advokasi lingkungan hanya akan kuat bila masyarakat punya data akurat. Ia mengajak warga terlibat aktif agar suara mereka tak mudah diabaikan. “Data adalah senjata,” tegasnya.

Yonathan B. Agu Ate, salah satu narasumber, menilai krisis ekologi yang dirasakan petani dan nelayan bukanlah kesalahan mereka semata. Ia menyebut kekeringan, banjir, dan longsor sebagai akibat dari eksploitasi alam yang berlebihan.

Dalam kesempatan lain, Keba Moto, seorang Akademisi kenamaan Sumba menekankan pentingnya inovasi lokal seperti pupuk bio. “Kita jangan bergantung pada pupuk kimia. Mari mulai dari solusi konkret yang bisa dikerjakan bersama,” ujarnya.

Budaya juga muncul sebagai bahan perdebatan. Pertanyaan soal belis atau mahar tradisional dipandang sebagian pihak sebagai penyebab beban ekonomi masyarakat. Namun, tokoh adat menegaskan belis memiliki nilai luhur yang tak bisa dihapus begitu saja.

Diskusi sehari penuh itu akhirnya ditutup dengan kesimpulan bersama: peningkatan ekonomi rakyat harus sejalan dengan pelestarian lingkungan, advokasi harus berbasis data, dan nilai budaya harus tetap dihormati. Belis, banjir, dan tambang pasir hanyalah simbol betapa kompleksnya masalah ekologi Sumba hari ini.(ped)

Komentar