Waingapu.Com – “Di atas nisanmu, ada asa yang mengajak hati siapa saja untuk melihat dan mendengar, bahwa penderita hydrochepalus butuh dukungan dari pemerintah
dan masyarakat. Tak peduli mampu atau tidak. Di atas nisanmu ada harapan, agar tak ada lagi korban hydrochepalus hanya karena terlambat penanganan atau ekonomi yang merangkak,” baitan ungkapan hati Sep Beda, sepupu Shanti Puteri Rambu Lokat, satu dari kembar penderita hydrochepalus dan gizi buruk yang meninggal Rabu (07/12) lalu pasca jalani pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar-Bali.
Ungkapan hati yang dilontarkan dalam ibadah pemakaman Shanti, di Kampung Marada, Kelurahan Maulumbi, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT, Sabtu (14/12) itu layak menjadi refleksi bagi instansi pemerintah terkait. Juga menjadi ‘kado refleksi’ bagi seluruh warga untuk respek pada lingkungan sekitarnya.
Betapa tidak, Shanti Puteri Rambu Lokat dan Shinta Rambu Nahu, puteri kembar Pasangan Yunus Muku Lalu Panda dan Orpa Hilung Hawu, baru menyita perhatian publik pasca diberitakan media massa sehubungan dengan kondisi kesehatannya juga keterbatasan ekonomi untuk dana perawatan dan pengobatannya.
Hingga menginjak usia lebih dari 1,5 tahun barulah terungkap prahara si kembar yang berdomisili di Tana Wurung, yang jaraknya tidak sampai 100 meter dari Kantor Kelurahan Lambanapu.
“Jujur saya agak geram dan marah juga ketika mendapati kondisi Shanti dan Shinta ini kala saya bersama kawan-kawan wartawan MNC Media, Pos Kupang dan Kompas TV pasca mendengar adanya batita penderita hydrochepalus dan gizi buruk. Kesalnya karena kenapa baru satu setengah tahun lebih barulah hal ini diketahui dan orang dikasih tahu? Kenapa tidak dalam satu atau dua hari, satu atau dua minggu. Tapi sudah terjadi dan setelah kami berkunjung keTana Wurung, kami pulang lalu karena kerjaan kami adalah memberitakan dan menyebar informasi, hal itu kami lakukan sesuai kemampuan kami masing-masing. Ada kawan yang menulis di koran dan media online, juga memberitakannya di TV. Barulah kemudian banyak hati dan mata tergerak dan terbuka,” papar Heinrich Dengi, jurnalis Radio Max FM dan KBR 68 H, mewakili ungkapan hari para wartawan yang oleh keluarga duka diberikan kesempatan menyampaikan rasa hati dalam ibadah pemakaman.
Shanti kini telah dimakamkan dengan tenang, dibawah rindangnya pohon mangga, di samping pusara kerabatnya. Shinta, hingga kini masih jalani perawatan dan pengobatan lanjutan di Denpasar. Harapan dan doa agar hal yang terbaik terjadi pada Shinta, menjadi harapan ratusan pelayat dan pengantar jenazah Shanti menyatu dnegan ibu pertiwi. Harapan yang terkatup bersama asa agar dikemudian hari tak lagi ada ‘Shanti dan Shinta’ yang ditepikan atau diacuhkan para petinggi daerah dan negeri ini juga para kawula yang senantiasa bangga dengan status masyarakat yang berperikemanusiaan, adil dan beradab ini.(ion)