Waingapu.Com – Warga desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, NTT, masih sangat meyakini, Poro Duka, seorang bapak berusia sekira 40 tahun, meregang nyawa kemudian tewas karena tertembus peluru aparat gabungan Polri dan TNI, dalam peristiwa kericuhan yang terjadi di desa tersebut Rabu (25/04) siang lalu.
Keyakinan itu seakan tak luntur sekalipun gambaran hasil otopsi yang telah dilakukan telah diungkapkan ke publik melalui aneka jenis media, oleh Kapolres Sumba Barat AKBP. Gusti Maycandra Lesmana, yang mana menyatakan hasil otopsi tidak ditemukan adanya proyektil peluru bersaran dalam tubuh Poro Duka.
Kukuh dalam keyakinan bahwa Poro Duka menjadi korban peluru aparat ditegaskan oleh Luther Laku Nija, Kepala Desa sekaligus kerabat dekat Poru Duka, dalam video testimoni yang diterima wartawan, Sabtu (28/04) pagi kemarin dari Petrus Paila Lolu, kuasa hukum keluarga korban.
“Suara hati saya, kemarin waktu kami keluarga besar Lamboya menyampaikan aspirasi di depan Polres bahwa penyampaian Polres yang menyatakan hasilnya bukan karena tembakan, ternyata pada saat dilakukan otopsi anak saya, dan saya sendiri sebagai Kepala Desa sekaligus sebagai orang tua dari almarhum yang jadi korban membuktikan bahwa hasil dari otopsi itu adalah tembakan dari Polri. Sementara Negara Republik Indonesia bukanlah negara tembakan atau ditembak-tembak saja,” tandas Luther sembari berharap ditindak dan diproses hukum siapapun dari aparat yang sekiranya menjadi pelaku penembakan. Luther juga menaruh harapan pada sejumlah pihak yang peduli dan simpati terkait peristiwa ini untuk bersama-sama memperjuangkan keadilan.
Dalam video yang sama, kesaksian juga diungkapkan oleh Siprianus Djari (26), saksi mata ketika peristiwa kericuhan yang berujung meletusnya senjata aparat. Saksi yang juga mengaku sempat menjadi korban pemukulan atau penganiayaan aparat.
“Saya sendiri secara pribadi dianiaya oleh pihak kepolisian bersama keluarga saya ditembak atas nama Poru Duka ditembak oleh pihak Kepolisian. Harus diusut tuntas oleh penegak hukum karena penegak hukum sendiri yang melakukan penembakan terhadap masyarakat masyarakat,” papar Siprianus berlatar rumah panggung yang diatasnya terbujur kaku jazad Poru Duka dalam sebuah peti bertutupkan kain khas setempat.
Adapun gambaran perisitwa atau hal yang menjadi asal muasal hingga terjadinya ‘peristiwa berdarah’ itu sebagaimana digambarkan dan diperoleh media ini dari kuasa hukum korban melalui fasilitas WhatApps menyebutkan, kejadian bermula Rabu (25/04) sekitar pukul 10.00 wita, aparat mendampingi pengukuran bidang tanah PT. Sutera Marosi Kharisma (SMK) dilakukan oleh pihak pertanahan Kabupaten Sumba Barat dan disaksikan oleh kepala Pertanahan, camat Lamboya, Kades Patiala Bawa dan pihak dari PT. SMK bersama kuasa hukum.
Namun selama proses pengukuran tapal batas milik PT. SMK mengalami sedikit kendala, yakni terjadi penolakan oleh masyarakat sekitar. Warga protes karena ingin meminta dihadirkan Umbu Samapati alias Umbu Kupang karena pada tahun 1994 sebagai pihak pertama yang melakukan transaksi jual beli dari masyarakat.
Masyarakat kesal karena perjanjian tahun 1994 mengisyaratkan bahwa akan di bangun hotel dengan mempekerjakan masyarakat sekitar, dan akan dikembalikan bila tidak dibangun dalam waktu 5 tahun sejak terjadi kesepakatan tahun 1994 tidak terpenuhi.
Disebutkan masyarakat meminta legalitas kepemilikan lahan oleh PT. SMK saat ini karena ada beberapa kapling bidang tanah yang belum terjual pada tahun 1994, tetapi diklaim oleh PT. SMK. Karena inilah masyarakat meminta kejelasan dari setiap bidang karena di bidang 1 dan 2 dinyatakan terlantar sedangkan bidang 3-7 dinyatakan terindikasi terlantar sementara bidang 1-7 punya ijin prinsip satu paket, disertai dengan surat keputusan dari BPN PUSAT.
Alotnya suasana saat itu akhirnya berujung memanas, dan kemudian situasi tidak terkendali dan lantas terdengar beberapa kali suara letusan senjata.(ion)