Waingapu.Com – Dua pekan silam, publik di gemparkan dengan perisitiwa yang melibatkan buaya dan warga di pesisir atau Daerah Aliran Sungai (DAS) Maulumbi dan
Lambanapu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT. Buaya diposisikan antagonis dan warga yang menjadi korban bersama keluarga berada diposisi sebaliknya. Almarhum Ngabi Ndjuka meninggal dengan cara tragis, pasalnya anggota tubuhnya ditemukan terpisah di sungai yang mana kondisi itu memperkuat dugaan Ngabi menjadi korban keganasan naluriah buaya.
Waktu bergulir, buaya terus diburu oleh Adrianus Madja Maukonda dibantu sejumlah warga pemberani lainnya. Madja yang pekan lalu ditemui mengaku, enam ekor buaya sudah terkena tombak dan panahnya namun kemudian bisa meloloskan diri.
“Ada enam ekor yang sudah kena tombak dan panah tapi lolos. Kami masih akan cari dan buru lagi karena sudah terlalu banyak dan mulai serang orang,” tandas Madja yang mengaku telah membunuh empat buaya itu.
Selain karena telah jatuh korban luka bahkan jiwa, keberadaan buaya dan perburuan buaya juga menjadi prahara bagi warga yang menggantungkan hidupnya dengan bertani di bantaran sungai atau DAS.
“Ada tomat, kangkung, bayam dan terong. Pokoknya sayur-sayuran banyak yang kami tanam di Mondu (Kebun di DAS, -red). Sudah mau satu bulan tidak lagi kami rawat dan kontrol. Mau pergi takut tiba-tiba kena terkam buaya,” keluh Marten Nggala Hamandima, seorang warga Kampung Kahawa, Kelurahan Maulumbi yang ditemui pekan lalu, kala menjadi saksi dikulitinya seekor buaya betina seukuran hampir tiga meter di pelataran Kampung.
Warga lainnya yang kala itu mendampingi Marten juga menambahkan, kecemasan akan diserang dan dimangsa buaya merata mengendap dalam diri petani mulai dari Kiritana hingga Lambanapu.
“Rusak dan tidak terawat sudah itu sayur, kami memang masih bisa sekali-kali pergi lihat tapi itu kalau ramai-ramai, kalau hanya satu dua orang, aiiih biar sudah. Sekarang juga kami tidak berani ikat sapi atau kuda di pinggir kali, biar sudah kami pi potong rumput di gunung,” imbuh seorang warga.
“Kalau dulu ada urusan adat atau keluarga di sebelah kali, tidak sampai lima belas menit kami sudah tiba di seberang, sekarang bisa setengah jam atau bahkan lebih dari satu jam baru sampai. Karena kita harus putar ikut jembatan gantung atau ikut jalan besar kalau ke Mauliru sana,” tambah Yunus.(ion)