Waingapu.Com – Banyak cara bisa dilakukan untuk menunjukan atau mengekspresikan rasa cinta dan hormat pada para Pahlawan Kusuma Bangsa. Selain menyelenggarakan upacara dengan cara konvensional, juga bisa dilakukan dengan cara unik. Seperti halnya yang dilakukan oleh para murid dan guru di SMA Negeri 01 Nggaha Ori Angu, Kecamatan Nggaha Ori Angu (Nggoa), Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT. Di sekolah yang familiar dengan akronim SMANGGO itu, para guru dan murid ikuti dan selenggarakan upacara peringatan Hari Pahlawan dengan mengenakan busana khas Sumba, yang mana tentunya berbahan dominan kain tenun ikat dan songket khasnya.
Peringatan Hari Pahlawan yang jatuh tiap tanggal 10 November, tahun ini jatuh pada akhir pekan. Karena itu, ditempuh kebijakan oleh para guru di SMANGGO untuk menyatukan upacara peringatan Hari Pahlawan dengan upacara yang lazim digelar tiap Senin pagi. Karena itu, Senin (12/11) pagi lalu, suasana berbeda dari lazimnya nampak di halaman tengah SMANGGO.
Seperti disaksikan media ini, sekolah yang terletak diperbukitan itu nampak semarak dengan busana adat Sumba yang dikenakan oleh seluruh peserta upacara. Peserta upacara dari kaum perempuan dominan mengenakan sarung dan kain serta selendang songket Pahikung, juga beberapa diataranya mengenakan ‘tidu hai’ yakni sebuah riasan kepala dari kulit penyu ataupun tulang ternak yang diukir, sementara lelaki peserta upacara mengenakan ‘kalambung hinggi’ atau balutan kain tenun ikat jenis Kombu dan Kawuru dilengkapi dengan ikat ‘kapouta’ atau ‘tera’ yakni ikat kepala dari kain tenun ikat. Hanya pengibar bendera serta pemimpin upacara yang mengenakan busana putih-putih, itupun tetap berselempangkan kain tenun ikat khas Sumtim.
Walau di atas kepala mentari mulai menikamkan sengat teriknya, upacara bendera tetap berjalan dengan khidmad. Keringat yang membasahi wajah serta tubuh, tidak menyurutkan tekad ratusan peserta mengikuti jalannya upacara hingga akhir. Tarian Kandingang yang merupakan tarian sukacita, disajikan dengan parang terhunus oleh para siswa.
Camat Nggoa, Hamba Manukorung, selaku Pembina upacara dalam arahannya menekankan pada peserta upacara agar meneladani semangat para Pahlawan yang telah mengorbankan segalanya untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
“Kepada para guru dan adik-adik siswa serta siswi di sekolah ini, dalam kesempatan ini, dimoment upacara yang unik ini, bisa kita kembali menyegarkan dan menanamkan semangat kepahlawanan dalam diri kita masing-masing dalam mengisi kemerdekaan. Mari spirit kepahlawanan itu kita terapkan dalam bidang kita masing-masing,” tandas Manukorung.
Sejumlah siswa dan siswi yang dimintai tanggapannya terkait nuansa unik upacara kali ini mengucapkan rasa bangganya. Selain bangga bisa menampilkan busana khas Sumba juga bangga bisa turut melestarikan warisan adat dan budaya lewat busana yang dikenakan. “Biar keringat dan pans tidak masalah, yang penting kali ini kita tampil beda. Ini saya siap mau satu jam untuk pakai kalambung hinggi ini. Saya bangga dan harap upacara peringatan hari-hari besar nasional nanti pakai pakaian adat lagi,” ungkap Melki seorang siswa.
“Kalau saya ini pak pakai sarung dan selendang pahikung. Kalau yang dikepala ini namanya Tidu Hai. Karena harus sanggul rambut ini, saya dari matahari belum terbit sudah dandan memang,” ungkap Angraeni, sorang siswi yang mengenakan busana adat dengan sarung dan selendang berbahan kain songket pahikung.
Daniel Pandangga, Kepsek SMANGGO kepada media ini menjelaskan, dalam peringatan Hari Pahlawan kali ini, para guru dan murid menyatukan persepsi, bahwasanya menghormati jasa para pahlawan, semestinya juga dibarengi spirit pelestarian budaya. Pasalnya, demikian Daniel menambahkan, para pahlawan tentunya ketika berjuang dimasa silam, selain dilandasi spirit untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, juga spirit mempertahankan kehormatan, jati diri serta nilai-nilai adat dan budaya.
Daniel juga menambahkan, dimasa datang, tak hanya peringatan Hari Pahlawan namun kegiatan-kegiatan yang dilandasi spirit pelestarian adat dan budaya akan terus dilakukan di lembaga pendidikan ini. “Selain bisa menjadi contoh bagi lembaga lainnya minimal di kecamatan Nggoa ini, juga bisa menjadi salah satu upaya uuntuk membentengi generasi muda untuk tidak melupakan akar budaya dan jati dirinya, ditengah gempuran roda modernisasi dan globalisasi,” pungkasnya. (ion)