Waingapu.Com – “Bertani yang berkelanjutan menyangkut tiga aspek yakni keberlanjutan dalam konteks ekologi atau lingkungan, konteks sosial budaya yang mana
didalamnya ada kearifan lokal, dan keberlanjutan dalam konteks pertumbuhan ekonomi. Kenapa kemudian keberlanjutan konsennya lebih kepada kearifan lokal? Karena sekarang pertanian itu lebih mengacu pada pertanian yang ramah lingkungan,” urai Ernesta Leha, SE, M. Agb, kepada wartawan usai menjadi moderator dalam Seminar Nasional bertemakan ‘Bertani yang Berkelanjutan’ dalam rangkaian Hari Pangan Sedunia (HPS) se-Sumba lingkup Keuskupan Weetebula, di Stasi Bunda Maria Selalu Menolong, Desa Pada Eweta, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Kamis (20/10) pagi hingga siang kemarin.
Ernesta yang juga bergelar Master bidang Agribisnis juga kandidat Doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB) itu juga memaparkan, jika diflashback pada kehidupan para petani dimasa silam, sangat dominan dilakukan secara alami pola bertaninya dan ramah lingkungan, hal itu terjadi karena kearifan lokal benar-benar terjaga dan dilaksanakan sepenuh hati.
Predikat miskin yang sering disandingkan dengan para petani dan rumah tangga masyakarat tradisional Sumba, harus benar-benar dicermati dan didasarkan pada data yang benar-benar valid.
“Kenapa predikat miskin itu muncul? Otomatis itu berangkat dari data, data yang dimiliki oleh pemerintah terkadang kemudian ada pertanyaan disana, apakah datanya benar-benar valid atau tidak? Sehingga indikator kemiskinan itu bisa saja berangkat dari data yang belum tentu valid. Jika benar miskin? Menurut saya itu miskin tanda kutip apa? Kekurangan pangan? Memang ada wilayah tertentu yang kekurangan pangan tapi ada pula wilayah yang tidak alami itu seperti halnya di Elopada ini, yang mana disampaikan oleh peserta seminar, bahwasanya Raskin (Beras Untuk Rakyat Miskin, _red) adalah pelecehan terhadap harga diri orang Sumba, dimana orang Sumba dinilai tidak mampu untuk menghasilkan pangannya sendiri,” papar Ernesta seraya menambahkan keberadaan raskin juga secara nyata berpotensi melahirkan pribadi opurtnunis dimana warga jadi malas untuk berusaha mencukupi kebutuhan pangannya karena sudah sangat bergantung pada Raskin.
John Wula, seorang petani peserta seminar ini juga secara lantang menyuarakan kegundahannya dengan keberadaan raskin.
“Raskin adalah program pemerintah yang katanya untuk membantu pangan rakyat yang miskin. Namun sayang, kualitas raskin sangat tak bisa dijamin. Raskin bukan lagi untuk membantu namun justru merendahkan warga penerimanya,” tandasnya dalam seminar yang digelar dengan menghadirkan tiga ahli masing-masing Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjanto, MS, Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS dan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc, pemateri dari IPB itu.(ion)