Kampung Tarung terbakar, api membalut penuh kampung ini hampir enam jam tanpa henti, sejak jam 4.30. Sabtu, sore hari. Tiang utama baru bertumbangan tengah malam. Api tetap menjalar di sela reruntuhan, membuat percikan tiba-tiba kembang api.
Panas api yang berlangsung lama, membuat batu kubur retak dan patah. Kubur terbuka sekaligus menyingkap isinya. Kini batu kubur telah diselimuti kain.
Sepanjang hari hujan malas selalu turun, membuat kain basah, tanah becek dan batu licin. Meski basah, percikan api masih muncul dan memijar.
Hampir sehari semalam warga Tarung, hadir dan menjadi saksi kampungnya terbakar dan meleleh. Mereka mencoba menyelamatkan apa yang bisa direngkuh, terutama barang pusaka. Sebagiannya meratap dan mematung karena terguncang. Sepanjang malam dan sepanjang siang, mereka berkeliling, memeriksa dan mulai membangun tenda sementara. Rekaman viral yang beredar, mungkin lebih menggambarkan kebakaran dramatis ini.
Saya tiba menjelang petang di tenda darurat. Tengah berlangsung pertemuan pertama setelah kebakaran. Wajah yang lelah, perasaan pasrah dan mengambang, namun mata bersahabat tak pernah lepas dari tengah keletihan mereka.
Awalnya saya datang dengan niat membantu dan mendampingi, sejauh mungkin apa yang bisa dilakukan dalam situasi bencana. Namun setelah mendengarkan hasil pembicaraan dalam pertemuan, saya menjadi ragu, dari mana saya harus mulai. Yang terfikir awal, hanya masalah teknis dan pemulihan korban, pendampingan psikologis dan penggalangan dana, atau sejauhnya pembangunan kembali.
Itulah tujuan laporan ini, saya ingin merangkum apa yang terjadi dalam pembicaraan dan arahan Rato Lolina, dalam kata-katanya sendiri. Setidaknya, kita tahu apa yang bisa kita bantu, dalam bentuk apa dan dari mana. Saya tertegun sepanjang pertemuan di tenda darurat. Merasa bahwa apa yang terjadi di Tarung adalah serpihan dari apa yang berlangsung di Indonesia. Tiba-tiba saya merasa menjadi satu dan bagian dari peristiwa ini. Mata saya basah karena hujan jatuh di tenda.
“Kampung kita terbakar. Kita hadir dan melihat sendiri jatuhnya tiang tiang yang ada. Kita mengalami musibah. Dipilih untuk mengalami bersama. Jangan tanya, dari mana api berasal dan siapa yang menyulutnya. Api dikirim alam, berasal dari alam dan kembali ke alam.” Rato Lolina, membuka pertemuan dalam bahasa Loli. Matanya yang tajam disaput kelelahan.
“Kita semua berada dalam satu rahim. Kesakitan dan kehidupan kita alami bersama. Jangan berfikir dan punya prasangka, ada seseorang atau suatu rumah yang menjadi awal kebakaran. Ini musibah. Warga dalam satu rahim, tak mungkin saling menyakiti dan menyalahkan. Kita harus memandang kedepan, jangan kebelakang. Jangan tanya ‘kenapa’ dan terpaku pada ‘masalah’. Tapi kita fokus di ‘bagaimana’ dan ‘ kerja’. Kita tidak bisa membalik keadaan. Kita harus menghadapi ini sebagai cobaan dari Yang Kuasa, untuk dialami bersama.”
Setelah bertukar pendapat tentang langkah-langkah bersama yang akan dilakukan, Rato Rumata menyimpulkan, “Kita akan membangun kembali Kampung Tarung secara bertahap dan akan berlangsung lama. Yang perlu direhabilitasi pertama adalah kawasan Batu Kubur yang retak patah, baru kemudian membangun Kampung keseluruhan. Namun upacara Wolupodu, tetap diselenggarakan pada tahun ini. Kita akan menyelenggarakan upacara pada tempat semula, dengan mendirikan rumah sementara. Berharap tenda sementara setelah pembersihan puing, bisa berdiri selambatnya tgl 21 Oktober ini. Karena Wolapodu dimulai 22 Okt ini. “Besok kita periksa kembali apa yang tersisa. Keadaan keluarga, tempat tinggal sementara, dan terutama benda pusaka yang berhasil kita selamatkan. Pastikan benda pusaka pada tempatnya, karena sebagian jiwa leluhur ada di sana.”
* Dibagikan di group WA KSBN oleh Taufik Razen (Budayawan & Staf Khusus Menteri Pariwisata Bidang Kebudayaan)