Waingapu.Com – Tak nampak tertatih langkahnya, namun lamat-lamat terdengar sengal nafasnya kala deru angin sejenak mereda gemanya saat Abdin Hampa Pulu (8) melintasi padang dan perbukitan sabana di desa Tana Mbanas Selatan, Kabupaten Sumba Tengah (Sumteng), NTT, kala itu. Dengan jerigen kapasitas lima liter bekas wadah minyak goreng kemasan ditangan kanannya, Abdin bersama ayahnya Nggay Hamba Pulu (39) menyusur sabana menuruni perbukitan menuju lembah yang disebut keduanya menjadi sumber air terdekat dari Kampung Waipanjelu, tempat keluarga mereka bermukim.
“Kalau sudah musim kemarau ya begini sudah, mata air yang paling dekat dan bertahan lama keluar air di situ saja. Karena itu jadi disebut Waipanjelu ini kampung,” tutur Nggay sembari tetap melangkah dengan dua jerigen ukuran masing-masing lima liter ditentengnya.
Nggay yang pekan lalu coba penulis temani tuk menjajal keseharian warga mencukupi kebutuhan air bersih itu lebih lanjut menjelaskan, warga di kampung mereka tak bisa lagi mengharapkan sumber air seperti sumur karena memang jika sampai digali toh niscaya akan sia-sia karena tidak akan mengeluarkan air sekalipun puluhan meter dalamnya.
“Tiap tahun kalau sudah selesai hujan yaa begini sudah, kami harus jalan jauh begini untuk ambil air. Kalau mau harap beli berapa juga kami punya uang, karena air satu mobil tangki harganya empat ratus ribu. Kalau mau beli sedkit yaa, bisa sepuluh ribu untuk satu drum bekas aspal,” urai Nggay saat menunggu giliran untuk menimba air dalam lubang-lubang selebar dan sedalam dua jengkal di dinding lembah.
“Ini saya pikul pulang ke rumah, jalan sekitar empat kilo dan lebih banyak mendaki. Tiap hari begini sudah kami,” kata Tius Matalu (30) seorang warga yang sedang memikul jerigen berkapasitas 20 liter yang telah penuh terisi air.
Sekitar enam lubang berada didinding lembah ini. Enam lubang yang bisa disebut bukanlah mata air besar namun lebih pada tetesan atau rembesan air.
“Kalau air menetes begini, setengah jam baru bisa penuh satu jerigen lima liter ini. Saya bawa empat jerigen. Jadi kadang mau jelang malam baru sampai rumah,” jelas Nasria Kudanga (15) seorang remaja lulusan SMP yang mengaku tidk bisa melanjutkan sekolahnya karena keterbatasan biaya.
Dalam perbincangan sebelumnya, tidak jauh dari kampung Waipanjelu, sejumlah warga sempat menceritakan, kesulitan dan keterbatasan warga untuk memperoleh air bersih biasanya sedikit berkurang jika event-event politik seperti jelang Pileg dan Pilkada belangsung. Selain banyak yang memberikan bantuan air gratis, juga sejenak warga terbuai janji-janji akan dimudahkan jika nanti sang pemberi janji mencapai ambisi politiknya.
Akankah kekeringan dan keterbatasan ditahun mendatang berulang tahun? Akankah nanti moment penyaluran bantuan air gratis dan ‘bunga-bunga janji’ ditabur sekali dalam lima tahun terulang? Yang pasti sampai sekarang ‘sumber air suu dekat’ masih berbungkus asa.(ion)