Waibakul, Waingapu.Com – Sejumlah Tokoh Adat , pemerintahan, agama, kepemudaan dan ragam elemennya lainnya di Kabupaten Sumba Tengah, NTT, Sabtu (11/5/2024) siang lalu menlaunching Kesepakatan Bersama Menolak Praktik Budaya Kawin Tangkap. Hadir pula dalam kegiatan yang difasilitasi dan diinisiasi Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) Sumba itu para penyintas kawin tangkap.
Kesepakatan bersama Menolak Praktik Budaya Kawin Tangkap tidak serta merta diluncurkan atau di deklarasikan, namun telah melalui sejumlah tahapan dialog intensif dengan para tokoh adat Sumba Tengah. Hal itu diungkapkan Yustin Dama Dia, Direktur SOPAN Sumba di sela-sela kegiatann yang dihelat di Aula Kecamatan Katikutana itu.
“Kesepakatan ini menandai titik balik dalam upaya melindungi hak-hak perempuan di pulau Sumba, khususnya Sumba Tengah. Para Tokoh Adat telah berkomitmen untuk menghapus praktik Kawin Tangkap yang tidak lagi relevan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Ini juga bentuk dukungan bagi para penyintas, baik laki-laki dan perempuan untuk menjadi pejuang hak asasi perempuan dan hak asasi manusia yang tergabung dalam Kelompok Penyintas,” papar Yustin.
Hadir dalam kegiatan itu, Ketua Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, PJ Bupati Sumba Tengah yang diwakili oleh Asisten 1, dan elemen pemerintaha lainnya. Dalam kegiatan itu seluru elemen yang hadir menyepakati beberapa poin diantaranya, tiap keluarga adat di Sumba Tengah tidak boleh membenarkan dan melakukan praktek kawin tangkap, tidak boleh menerima praktek kawin tangkap, apalagi melanjutkan sampai pada proses pelaksanaan tahap perkawinan.
Juga disepakati, para orang tua tidak boleh menjodohkan anak atau anak di bawah umur, anak tidak boleh menjadi jaminan atas perbuatan orang tua dalam bentuk apapun (tau ta karera na ana) dan apabila ada pelanggaran maka akan ditindak berdasarkan hukum positif karena yang bersangkutan ikut terlibat dan atau mendukung praktik terlarang ini.
Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati yang hadir dalam kegiatan itu secara online menegaskan pentingnya keterlibatan banyak komponen untuk memperjuangkan terhapusnya praktik kawin tangkap itu.
“Semua pihak, semua komponen, harus terlibat dalam upaya-upaya pemberantasan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan,” tegasRatna sembari menambahkan pihak yang menjadi korban harus diperhatikan seksama dalam kolaborasi yang dibangun guna kepastian penanganan berjalan dengan baik.
“Ini mungkin jalan pintas yang diambil dulu ketika laki-lakinya tidak laku, kemudian diskenariokan agar menangkap perempuan,” tukas Oktovianus Deky, Asisten I Setda Sumba Tengah dalam gelaran diskusi .
Oktovianus melanjutkan pentingnya aturan yang dirumuskan dengan menghadikan atau melibatkan para tokoh adat guna optimalnya pengapusan praktik kawin tangkap.
“Perkuat konteks aturan yang dibuat, hadrikan tokoh adat, hingga jika ada potensi dilanggar jelas sanksinya. Kalau semua ini jalan, pastinya Kawin Tangkap itu hanya cerita, yang tidak akan pernah terjadi lagi,” timpal Oktovianus.
Umbu Sangaji, yang merupakan satu dari beberapa tokoh perumus Dokumen Kesepakatan Bersama Tokoh Adat Sumba Tengah untuk Menolak Praktik Kawin Tangkap menekankan Kawin Tangkap hanyalah kebiasaan dan bukannya adat dan budaya. Karena menjadi sebuah kebiasan, yang dilakukan oleh orang tua yang kaya dan berpengaruh serta punya kuasa untuk menekan, maka sebut dia praktek itu berlanjut.
“Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa Kawin Tangkap adalah budaya, itu budaya yang biadab. Orang Sumba yang meruadalah orang yang beradab,” tohok Umbu Sangaji. (ion)