SINERGITAS DAN KONEKSITAS: Menangkap Pesan Pembangunan Gubernur NTT

oleh
oleh
Stepanus Makambombu

Tema opini di atas merupakan bentuk apresiasi dan pemaknaan saya pribadi terhadap pertemuan rapat kerja antara gubernur NTT dengan semua pemerintah daerah di Pulau Sumba yang berlangsung pada tanggal 07 Desember 2018 di Waingapu. Tema ini berupaya membingkai dan ingin mengatakan kepada publik, munculnya berbagai permasalahan di daerah kepulauan NTT salah satunya disebabkan “putusnya” rantai kebijakan publik dalam membangun sinergi dan koneksi antar wilayah. Pertanyaannya, apakah persoalan ini tidak atau belum dikerjakan oleh gubernur-gubernur sebelumnya? Perlu ditelusuri dokumen-dokumen pembangunan yang ada? Namun dalam perspektif saya, tema ini sangat aktual untuk konteks pembangunan di NTT sebagai konsekuensi dari wilayah kepulauan.

Berbicara koneksitas, dalam banyangan saya ada simpul-simpul kebijakan publik yang tidak saling terhubung antara satu pulau dengan pulau lain, antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya baik secara vertikal maupun horizontal. Ketika Kabupaten “A” bicara tentang kebutuhannya tanpa menengok kabupaten “B” yang mungkin saja potensial mampu menyediakan kebutuhan dimaksud. Sebaliknya ketika Kabupaten “B” berbicara tentang permasalahannya tanpa menengok Kabupaten “A” yang mungkin saja potensial mampu mengatasi masalahnya sehingga kedua kabupaten mestinya dapat saling komplementarian kebutuhan. Apa yang terjadi kemudian ketika masing-masing kabupaten mencari solusinya sendiri-sendiri tanpa “saling melihat”, maka yang terjadi adalah inefisiensi dan inefektifitas dalam menyelenggarakan dan menyediakan kebutuhan publik. Mereka menghabiskan waktu dan biaya memobilisasi sumber daya (manusia dan uang) dari dan ke daerah lain tanpa adanya komplementarian benefit.

Baca Juga:  Kewirausahaan Sosial yang Memberi Dampak untuk Kemajuan Negara

Demikian halnya ketika berbicara sinergitas, dalam bayangan saya adanya simpul-simpul kebijakan publik yang tidak saling sinergi kendatipun sama-sama menghadapi permasalahan krusial yang umumnya terjadi di semua kabupaten. Contohnya, stunting menjadi persoalan “yang memalukan” NTT pada event nasional sebagaimana dituturkan oleh gubernur. Tetapi apakah semua kabupaten menempatkan masalah ini sebagai “musuh” bersama yang perlu diperangi, belum tentu? Padahal kita tahu bersama dampak buruk stunting yang berpotensi menurunkan daya saing daerah beberapa tahun kedepannya. Masalah ini bukan hanya masalah kesehatan, dinas pertanian tetapi ada banyak sektor yang berperan di dalamnya yang perlu membangun sinergi.

Kepemimpinan dan Kepengikutan

Apa masalahnya? Mengapa tidak terjadi koneksitas dan sinergitas setelah sekian lama terjadi pergantian gubernur dari periode ke periode? Salah satu akar masalahnya terletak pada faktor kepemimpinan (leadership). Ketika semua pemerintah daerah di NTT merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik berdasarkan ego masing-masing wilayah maka sesungguhnya mereka sedang merancang inefisiensi dan inefektifitas dalam menyediakan layanan publik. Diperlukan sebuah kepemimpinan yang kuat yang memfasilitasi wilayah-wilayah menyelesaikan keegoannya. Hanya kepemimpinan yang kuat dan yang memfasilitasi yang mampu menciptakan kebijakan publik yang efektif dan efisien.

Baca Juga:  Takdirmu Memang Harus Terlambat!

Berbagai riset membuktikan bahwa kemajuan sebuah daerah sangat ditentukan oleh faktor kepemimpinan, yaitu kepemimpinan yang mampu menghadirkan inovasi (KPPOD dan The Asia Foundation, 2011; Savirani, 2013). Sejumlah daerah dimaksud antara lain, Kabupaten Sragen, Surabaya (Savirani, 2013; Pribadi, 2013), merupakan daerah-daerah yang berhasil menjalankan inovasi yang bisa dijadikan contoh.

Menyimak presentasi gubernur pada rapat kerja bersama seluruh pimpinan wilayah se Sumba, ada berbagai kebijakan inovatif yang sementara dan akan dilaksanakan dalam bingkai ketegasan kebijakan dan tindakan. Hasilnya masih kita tunggu beberapa tahun kedepannya. Tetapi yang perlu dicatat bahwa kepemimpinan yang kuat saja tidak cukup. Riset membuktikan daerah-daerah yang inovatif ternyata hanya berlangsung selama periode sang kepala daerah (Buehler, 2010). Paska kepemimpinan kepala daerah berakhir, berakhir pula narasi dan praktik inovatif karena inovasi mengalami personalisasi pada diri sang pemimpin.

Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah di atas? Melembagakan inovasi saja dalam bentuk regulasi tidak cukup, kepemimpinan yang kuat harus diikuti pula oleh kepengikutan (followership) yang kuat. Dalam teori kepemimpinan moderen kepemimpinan didefinisikan sebagai proses tumbuh bersama dari sebuah hubungan antara seorang pemimpin dengan pengikut (Avolio and Reichard, 2008). Penciptaan visi dan penyebarannya merupakan sebuah upaya bersama yang terus menerus antara pemimpin dan pengikut untuk memastikan bahwa organisasi dapat menjembatani gap antara kondisi saat ini dan masa depan yang ideal. Menurut Carsten and Bligh (2008), ada beberapa tipe kepengikutan dalam tubuh sebuah organisasi: Pertama,

Baca Juga:  F2P2ST: Bupati Sumba Timur Jangan Diam Soal Kejahatan Lingkungan PT. MSM
pengikut pasif, kelompok ini berpikir pasif dan menyerahkan sepenuhnya pada pemimpin; Kedua, pengikut kompromis, berpikir positif, selalu berada di samping pemimpin, tetapi masih mengandalkan pemimpin untuk berpikir, mengarahkan dan membuat visi; Ketiga, pengikut yang mengasingkan diri, tipe ini berpikir untuk diri mereka sendiri dan banyak memiliki energi negatif; Keempat, pengikut prakmatis, keberadaan mereka seperti orang yang tidak berpihak dan melihat kemana arah angin; Kelima, pengikut bintang, mereka tahu bagaimana bekerja sama dengan teman sekerja dan pemimpin mereka dengan tujuan untuk menguntungkan organisasi. Sangat aktif dan memiliki energi positif. Mereka tidak bisa menerima keputusan pimpinan tanpa melakukan evaluasi yang kuat secara mandiri.

Merujuk pada beberapa tipe kepengikutan di atas maka yang diperlukan saat ini adalah kelompok pengikut bertipe bintang. Pemimpin tidak butuhkan tipe pengikut pasif, prakmatis yang hanya “yes man atau asal bapak senang” apalagi tipe pengikut yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan selalu menebar energi negatif. Sudah cukup lama pemimpin-pemimpin daerah ini bekerjasama dengan tipe-tipe pengikut selain tipe bintang. Kehadiran tipe kepengikutan non bintang hanya akan menciptakan inefisiensi dan inefektifitas. Sebab, sekuat dan setegas apapun seorang pemimpin hasil inovasinya dapat berakhir paska berakhirnya periode kepemimpinan sang pemimpin. Oleh sebab itu tipe kepengikutan yang mampu menjalankan kebijakan pembangunan yang saling bersinergi dan terkoneksi hanya melekat pada kepengikutan bintang. Selamat memilih pengikut-pengikut berkarakter bintang.

Penulis: StepanusMakambombu, direktur Stimulant Institute dan pengamat kebijakanpublik

Komentar