Waingapu.Com – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT meminta Pemerintah Kabupaten Sumba Timur (Sumtim) lebih mengutamakan kepentingan air untuk para petani
dibandingkan untuk perusahaaan atau investor bidang perkebunan monokultur. Permintaan itu dinyatakan WALHI NTT dalam siaran persnya yang diterima redaksi, Jumat (30/12) siang yang dikirimkan oleh Direkturnya, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi.
Dipaparkan WALHI, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, Warga Petani Wanga dan Petawang mengeluhkan berkurang debit air hingga kekeringan di saluran irigasi yang selama ini menjadi andalan untuk pengairan di sawah mereka. Kekeringan terparah terjadi dalam dua tahun terakhir, petani praktis tidak bisa melakukan aktivitas pertanian, khususnya untuk sawah mereka.
Dalam catatan WALHI NTT, Petani biasanya panen dua kali dalam setahun dengan area sawah produktif seluas 780 Hektar. Dengan hitungan minimalis, setiap hektar menghasilkan 2 ton padi, maka WALHI mencatat warga mengalami kerugian milyaran rupiah.
Juga dijabarkan WALHI NTT mendapati beberapa fakta yakni, irigasi milik Pemkab. Sumtim kering kerontang bahkan tembok irigasi telah banyak mengalami kerusakan akibat kekeringan, namun Pemerintah tidak pernah melakukan upaya serius untuk mengatasi kekeringan yang terjadi. Selain itu kini banyak petani gunakan sumur bor untuk sekadar menghidupi kebun sayurannya. PT. Muria Sumba Manis (MSM) dinilai monopoli sumber daya air di kawasan hulu yang sama dengan sumber air dari irigasi untuk petani.
Tak hanya itu, WALHI juga mengkritisi isu perubahan iklim El Nino dan pemanasan global telah menjadi isu pembenar keringnya irigasi untuk warga. Padahal di saat bersamaan perusahan memiliki embung dengan sumber daya air yang melimpah. Dampaknya Petani mengalami kesulitan pemenuhan kebutuhan pangan secara mandiri dua tahun terakhir.
Hal lainnya yang juga disebutkan WALHI adalah, keeengganan Petani di Desa Wanga dan Petawang untuk beralih profesi dari Petani menjadi buruh perusahan. ‘Nda Atajawa akama la tana wuaka dangu padangu wiki ma’ yang artinya, ‘Kami bukan budak orang luar di tanah kebun dan padang kami sendiri’ demikian WALHI menyatakan aspirasi warga petani di kedua desa.
WALHI NTT juga menguraikan beberapa catatan kritis dan pernyataan sikap yakni, Pemkab. Sumtim telah mengabaikan perintah UU No.19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan pemberdayaan petani, juga tidak mengindahkan UU No.11 tahun 1974 tentang pengairan, juga abai dengan mandat Peraturan Pemerintah No.17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, dan melakukan pembiaran atas krisis yang terjadi di wilayah kelola rakyat secara sengaja atas nama investasi perkebunan skala besar dan atas nama penyerapan tenaga kerja oleh perusahan.
WALHI juga meminta DPRD lebih menyuarakan aspirasi warga terkait sumber daya air, juga menghentikan operasi dan mengkaji kembali ijin perkebunan PT. MSM karena dianggap jadi salah satu biang krisis sumber daya air dan kerusakan hutan.
Tak hanya itu, WALHI NTT mendapati bahwa perusahan ini beraktivitas pada saat Dokumen AMDALnya belum selesai dan belum disahkan, hingga jelas melanggar peraturan. Realita itu oleh, demikian harap WALHI diharapkan bisa menjadikan pijakan Pemerintah untuk harus melindungi dengan sungguh-sungguh kawasan pangan rakyat, agar tidak terjadi krisis pangan yang berujung pada kelaparan dan keterbelakangan SDM.
Investasi dengan perluasan dan penguatan wilayah kelola rakyat di sektor pangan, ternak hingga pariwisata kerakyatan yang ramah lingkungan, oleh WALHI dinilai lebih ideal untuk dikembangkan.(ion)