Waingapu.Com – Demam Berdarah Dengue (DBD) hingga kini masih menjadi ‘hantu’ yang menakutkan bagi warga Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT. Betapa tidak, hampir tiap pekan selalu ada tenda duka baru yang harus didirikan, pada sejumlah keluarga yang menjadi korban pasca terjangkit. Status klb yang telah ditetapkan Pemkab. setempat hingga kini masih berlanjut. Namun sejumlah warga korban DBD yang ditemi mengaku belum sepenuhnya memahami gejala-gejala awal DBD.
Adalah Ocktavianus Mauawang, ayah dari Zena Mauawang, balita berusia dua tahun yang beberapa hari lalu menjadi korban ganasnya DBD menuturkan gejala sakit puterinya tidak seperti gejala DBD yang diketahuinya. “Kalau yang kami tahu dan masyrakat lainnya tahu DBD itu ditandai dengan adanya bintik-bintik merah pada kulit dan puncaknya pendarahan seperti dari hidung dan telinga. Tapi anak kami ini justru tidak. Malah saat dibawa ke Puskesmas Rambangaru, saat anak akami di neneknya, medis disana nyatakan anak kami kena malaria vaksiparum,” jelasnya kala ditemui di rumahnya, Selasa (26/02) siang kemarin, beberapa jam sebelum ibadah pengebumian puterinya.
Lebih jauh Ocktavianus yang kala itu didampingi isterinya, Solfina Karanja Hawur mengharapkan instansi terkait untuk gencar sosialisasikan gejala-gejala terkini DBD. “Saya kemudian baru tahu bahwa DBD sekarang gejalanya tidak semata panas dan muncul bintik merah pada kulit korban, tapi juga ada gejala lain, semisal pendarahan di dalam organ dalam tubuh. Ini yang harus disosialiasikan gencar kemasyrakat, agar masyarakat secepatnya membawa korban ke layanan kesehatan terdekat,” imbuhna sembari menaruh harapan agar tidak lagi ada duka karena DBD di Sumtim.
Harapan senada juga pernah diungkapkan keluarga korban lainnya kala ditemui awak media sepekan sebelumnya. Daniel Raha Mbili Djawa, warga Kelurahan Lambanapu, kala ditemui beberapa pekan lalu di rumah duka keluarga Martinus Ndjama Landutana dan Ester Pingge, seiring kepergian puteri bungsu mereka Anastasia Clarita Ina, karena DBD, juga ungkapkan harapan itu. Karena ketidakpahaman secara utuh tentang gejala-gejala DBD terkini, boleh jadi membuat keluarga duka lambat membawa puteri tercintanya ke layanan kesehatan, dan akhirnya meninggal 11 February lalu itu.
Asa serupa juga terungkap hanya belasan langkah dari rumah duka Clarita, tepatnya di keluarga Domianus Ndilu Laki Ama. Harapan yang kemudian muncul seiring Deljan Ria Wunu Hiwal, putera tercintanya yang telah hidup bersamanya lebih dari 14 tahun itu harus menutup usia juga karena DBD.
Mengharapkan peran lebih dari intansi teknis adalah hal yang wajar. Yang mana tentunya akan mendapatkan hasil lebih optimal jika dibarengi sinergitas semua elemen di masyarakat. Mulai dari rumah tangga masing-masing harus sudah menyadari kondisi/kasus atau kejadian luar biasa ini harus pula dilawan dengan cara luar biasa. Plus tokoh penggerak layaknya ‘panglima perang’ yang saking geramnya dengan kekuatan musuh hingga mengibarkan dan mengobarkan perang dengan cara turun langsung ke medan laga. Oknum-oknum yang dinilai tidak mau menunjukan empati dan gerakan bersama memerangi DBD bila perlu dikenai sanksi sosial. Jika ini sampai dilaksanakan maka jargon dan seruan yang dibentangkan bagai iklan billboard product industri, tidak akan lebih besar dari spirit kebersamaan memerangi musuh yang sama. (ion)