Waingapu.Com – Kemiskinan dan keperihatinan sudah menjadi keseharian pasangan suami ister (Pasutri) Yunus Muku Lalu Panda (47) dan Orpa Hilung Hawu (45). Kondisi
itu kian terasa menghimpit seiring prahara yang dialami Santi Puteri Rambu Lokat dan Shinta Ananda Rambu Nahu, puteri kembar pasutri itu. Betapa tidak, buah cinta mereka yang kini berusia setahun lima bulan itu, harus lalui hari – hari sejak kelahirannya dengan derita hydrocephalus atau kelebihan cairan di kepala.
Hydrocephalus yang merupakan akumulasi abnormal cairan cerebrospinal di dalam otak. Dimana karena kondisi itu secara medis cairan berlebihan berpotensi meningkatkan tekanan sehingga dapat memeras dan merusak otak, menjadi keseharian kembar malang Santi dan Shinta.
Tak hanya sampai disini, anak kelima dan keenam pasangan petani dan penggali pasir yang beralamat di Tana Wurung. Kelurahan Lambanapu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT itu, juga didera gizi buruk.
“Kami sudah berusaha pak, lahirnya di rumah sakit waktu itu. Saya jujur saja kaget ketika tahu anak saya begini. Namun saya berusaha untuk tabah dan serahkan pada Tuhan. Kami sudah berusaha rawat dan bawa berobat ke Puskesmas dan kemudain dirujuk ke rumah sakit. Dari rumah sakit minta kami untuk urus rujuk ke Bali. Memang kami ikut KIS namun yangmenjadi beban kami adalah kalau kami nanti ke Bali mau dapat uang pesawat dan biaya hidup kami di sana darimana? Kami tidak ada daya lagi pak, hanya doa biar Tuhan terus kuatkan kami dan semoga pemerintah juga ada orang yang peduli dengan kami,” lirih Orpa, ibu Santi dan Shinta dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca berusaha untuk tegar, ketika ditemui wartawan, Rabu (12/10) siang kemarin sembari menambahkan pernah selama beberapa waktu karena keterbatasan dan kehabisan uang, Santi dan Shinta hanya bertahan dengan minum teh hangat.
Hati Yunus sang Ayah juga terasa kian perih, ketika upaya mereka untuk mengobati dan merawat puteri kembarnya hadapi berbagai rintangan. Tak hanya biaya namun juga perlakuan dan perkataan yang justru tidak diharapkan terlontar dari pihak yang mestinya merawat dengan penuh kasih dalam balutan baju putih medis.
“Mau bagaimana lagi Pak, berapa juga hasil saya kerja jadi petani, kalau hujan bagus baru ada hasil, kalau tidak ya saya gali pasir. Hasilnya tidak banyak, apalgi yang gali pasir bukan hanya saya. Sekarang saya ada jadi kuli Pak, biar bisa beli susu buat anak saya ini,” kisah Yunus, dengan mata berkaca-kaca namun berusaha untuk membelai, bercanda dan menggendong kedua puteri kembarnya sembari tersenyum getir berusaha menyembunyikan lara hati.(ion)