Menyoal tentang persoalan korupsi, berarti merujuk akan penyelamatan sebuah negara sekaligus membincang dengan merajalelanya orang-orang amoral yang acapkali memanfaatkan amanah untuk meraup keuntungan untuk diri sendiri maupun orang-orang sekitar yang ada di sekelilingnya. Dalam hal penyelamatan sebuah negara dari virus yang sudah mendarah daging, tidak hanya cukup dijalankan sebuah lembaga yang diberikan kewenangan khusus untuk itu misalnya; KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Melainkan harus ada sinergitas antara berbagai instrumen antara lain, LSM, Organisasi Mahasiswa maupun organ-organ lainya. Momentum tanggal 9 Desember di mana diperingati sebagai hari anti korupsi sedunia. Minimal ada satu pertanyaan yang menggugah batin kita, apakah tanggal 9 Desember hanya sebagai hari refleksi bahwa korupsi adalah musuh rakyat miskin atau lebih dari itu sebagai hari untuk makin memperkuat hubungan antara penegak hukum dengan masyarakat untuk bersama-sama bergandeng tangan untuk memberantas korupsi yang sudah terjangkrit di segala lini (?). Hal inilah yang menyentuh hati masyarakat di seluruh daerah Indonesia bersuara lantang dan gemuruh bahwa korupsi sebagai ektra ordnary crime.
Bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, maka tidak bisa penanganannya dengan hal-hal yang biasa-biasa. Maka, jangan heran ketika banyak koruptor yang divonis hukumannya sangat berat. Namun disisi lain masyarakat masih banyak yang mengkehendaki agar koruptor dihukum mati, terlepas pro dan kontra yang masih bergulir saat ini. Angka korupsi hasil survey Corruption Perception Indeks (CPI) tahun 2016, Transparency Internasional (TI) menempat Indonesia di posisi ketujuh se-Asean. Sedangkan dari 176 negara yang menjadi sasaran survey Indonesia menduduki peringkat ke-90. Angka 7 dan 90 masih merupakan angka yang krusial, sehingga pemberantasan korupsi tidak bisa ditangani dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Hal-hal inilah yang kemudian, mengundang masyarakat marah dan geram terhadap pelaku-pelaku korupsi atau biasa disebut sebagai orang yang maling uang rakyat. Suara-suara anti korupsi juga digaungkan di ujung Indonesia Timur, misalnya di Nusa Tenggara Timur, antara lain Kabupaten Sumba Timur (Humba) menyuarakan hal-hal yang sama yang mana geram akan korupsi. Gerakan-gerakan yang ada dalam memperingati hari anti Korupsi di Sumba Timur, berangkat dari anak-anak muda yang peduli dan memiliki mimpi besar untuk negaranya maupun untuk daerahnya. Tidak dipungkiri adanya gejala-gejala korupsi di daerahnya, sehingga dengan sigapnya, anak muda dalam memperingati hari anti korupsi perlu disambut baik bagi semua elemen masyarakat, karena nasib sebuah bangsa dan daerah yang dihuninya ada dipundak anak muda. Gerakan anak muda yang terjadi pada tanggal 9 Desember 2017 paling tidak ada dua minimal dasar yang kuat, pertama, memanfaatkan panggung demokrasi sebagaimana dijaminkan oleh konstitusi, kedua, rasa nasionalisme atau cinta terhadap tanah air. Jika ditafsirkan kedua hal itu minimal membuat cakrawala konstruksi berpikir bahwa “keberadaan menentukan kesadaran sosial” ini kuncinya gerakan anak muda di Indonesia khususnya Sumba Timur.[*]
Penulis: Melkianus Umbu Huki, Mahasiswa S2 Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta