Waingapu.Com – Sempat jadi harapan dan primadona usaha warga, rumput laut kini memasuki masa kelamnya, bagi para petani/pembudidaya. Harga beli oleh para
pengepul yang terus anjlok, akhirnya disikapi oleh para petani dengan menghentikan pembudidayaan.
Kondisi itu ditemukan dan dikisahkan sejumlah petani, kala ditemui di kawasan pantai Walakiri, Kelurahan Watumbaka, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT, belum lama ini.
“Mana kita mau kita tanam lagi rumput laut, harganya kalau kering sekarang hanya dua ribu satu kilo. Yang lalu masih empat ribu, kami masih tanam, jemur dan jual kalau ada keperluan mendesak, sekarang biar sudah, kita turun laut buat pukat atau pancing ikan saja,” jelas Ma Raja, salah seorang warga Walakiri.
Tak hanya Ma Raja, Ama Mbole, juga mengeluhkan hal yang sama. “Ini tali yg tersisa, ini rumput laut yang sudah kering. Tali ini saya simpan saja, kapan kalau harga baik lagi baru saya tanam. Kalau rumput laut ini, nanti harga sudah naik baru saya jual. Kalau sekarang kita tanam baru harganya hanya dua ribu, kasihan sudah kami, hanya dapat capek saja,” urai Ama Mbole, di samping meja jemur beton yang kosong dan tumpukan tali pengikat rumput laut teronggok di pasir.
Rumput laut kering jenis Catoni, pernah menjadi primadona beberapa warga pesisir Sumtim untuk dibudidaya beberapa waktu silam. Harganya bahkan pernah sampai level Rp. 13.000/kg. Namun kemudian turun, ke level Rp. 9000/kg, lalu Rp. 7000/kg, kemudian Rp. 4000/kg, lantas terjun ke Rp. 2000/kg.
Peran instansi terkait untuk kembali menggairahkan pasar rumput laut di Sumtim, hingga kini menjadi asa sejumlah kalangan, walau tak bisa dipungkiri, instansi teknis dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan setempat, lagi diperhadapkan dengan problem yang juga pelik dalam kaitannya dengan PT. Astil, yang divonis KPPU denda Rp. 3,2 Miliar karena praktek monopoli.(wyn)