Plataran Dominan Kuasai Pantura Sumba Timur

oleh
oleh

Waingapu.Com – Pesisir Pantai Utara (Pantura) Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT, secara garis besar telah dikuasai oleh perorangan maupun group usaha. Seperti halnya di wilayah desa Mondu tepatnya di pesisir pantai Puru Kambera, Kecamatan Haharu, group usaha Plataran menguasi sebagian besar pesisir pantai. Sayangnya, hingga kini pemerintah desa dan warga setempat tidak pernah diinformasikan tentang keberadaan dan pemasangan pilar, pagar dan patok-patok di lokasi.

Seperti terpantau dalam sepekan terakhir ini, pilar atau patok hingga pagar berduri dan plang menandai kawasan di pesisir pantai Puru Kambera menjadi kawasan privat/pribadi.

Pilar dominasi warna kuning menjadi salah satu bukti penegasan bersama plang bertuliskan ‘Tanah ini milik Plataran Sumba’ bahwasanya pesisir pantai tersebut tidak lagi menjadi kawasan publik, melainkan menjadi kawasan privat group usaha Plataran. Terpantau ada tiga lokasi yang menampilkan kondisi demikian.

Baca Juga:  Tagana Tuntaskan Pembenahan Makam Korban Covid 19 Di Sumba Timur

Tak hanya Plataran, dibagian lainnya. pola serupa juga nampak terpampang yakni plang penegasan kepemilikan dari PT. Bulir Mas. Hal yang sama juga ditemui di lokasi lokasi lainnya walaupun belum atau tidak nmpak adanya plang, namun pagar batu hingga pagar berpintu besi menandai kawasan tersebut telah dimiliki secara privat.

Sayangnya, aktifitas pemasangan aneka atribut kepemilikan lokasi tanah dimaksud, khususnya Plataran dan Bulir Mas, tidak pernah diketahui atau diinformasikan, apalagi melibatkan pemerintah desa setempat.

“Tidak pernah ada koordinasi dengan pemerintah desa. Yang saya tahu sejak tahun 2015 lalu dorang (Plataran,-red) pasang. Memang pak Bupati pernah bilang ke saya supaya beritahukan kepada mereka supaya lowongkan tiga meter untuk akses masyarakat kelaut, tapi saya mau bilang sama siapa, saya tidak tahu itu Plataran dimana, siapa dia, orang dimana, namanya siapa, saya tidak kenal,” papar Umbu Tunggu Bili, Kepala Desa Mondu yang ditemui di pesisir pantai Desa Kuta, usai menggelar pertemuan dengan para Tokoh Adat untuk menyatukan pemahaman terkait kepemilikan tanah adat atau ulayat pekan silam.

Baca Juga:  Investasi & Transmigrasi, Solusi Peningkatan Ekonomi Masyarakat

Umbu Tunggu juga menambahkan, kondisi tanah atau pesisir yang telah dipagari dan dipasangi patok/pilar, membuat warga was-was melintasi kawasan dimaksud.

Adapun kondisi yang terjadi di Desa Kuta, khususnya kawasan Puru Kambera, menjadi salah satu pelecut warga-warga disejumlah lokasi lainnya, untuk menyatukan pemahaman terkait penegakan dan pengakuan dan penghomratan pada tanah adat atau ulayat.

“Ini di desa Kuta juga ada hal serupa dan mau dipejuangkan agar kepemilikan tanah adat diakui dan dihormati,” imbuh Umbu Tunggu.

Hingga kini, warga memang masih melakukan langkah-langkah humanis dan santun. Namun pemberian plang dan tanda penegasan kepemilikan tanah adat dan ulayat kini mulai menggelora di sejumlah wilayah.

Baca Juga:  Di Pelabuhan Rakyat-Waingapu, Mengheningkan Cipta Untuk B.J. Habibie Digelar

Seperti yang terjadi di bekas lokasi PT. Bumi Haharu Abadi, yang dulu dikenal sebagai lokasi budidaya mutiara, gembok besi dan pagar besi tidak jadi halangan bagi warga untuk merubuhkannya dan memberi plang penegasan tanah adat lengkap dengan pagar berbahan kayu milik warga.(ion)

Komentar