Pengantar
Opini ini hanyasebuah catatan pragmatis yang bukan di dasarkan pada sebuah analisis perlu atau tidaknya membentuk DOB dalam kerangka menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir atau mulia sebuah pemekaran daerah. Tetapi sekadarcatatan bagaimana memelihara asa upaya pembentukan DOB yang sementara diperjuangkan oleh para pegiatnya.
Tanggal 26 Agustus 2014 sejumlah perwakilan masyarakat menyerahkan tiga usulan daerah otonomi baru (DOB) pada sidang DPRD kepada pimpinan DPRD dan Bupati Sumtim. Usulan DOB dimaksud terdiri dari Kabupaten Sumba Timur Jaya, Kabupaten Sumba Selatan dan Kabupaten Pahunga Lodu (Waingapu.com,26/08/2014). Menyimak peristiwa ini, pada satu sisi, mengantar kita menitikembali jejak perjuangan pemekaran yang sempat “menghilang” kurang lebih 5 tahun lalu. Pada sisi lain, peristiwa ini menguji daya tahan keyakinan kita ditengah-tengah kegalauan pemerintah pusat diantara masa transisi dari pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo. Dimana pada pemerintahan Presiden yang baru segera menghadapi beberapa hal krusial. Salah satunya, kekuatan APBN dalam membiayai jalannya pemerintahan.
Gambaran RAPBN 2015 menunjukkan sebuah beban berat, yaitu bagaimana harus mengatasi beban subsisi energi yang mencapai Rp 363,5 T atau 20-40 persen dari APBN (Indef, Sindo 27/08/2014), kemudian transfer ke daerah (dalam bentuk anggaran pendidikan dan DAU) yang mencapai Rp 640 T atau 31,7 persen dari APBN untuk 539 Kabupaten/Kota (Kompas, 28/08/2014), lalu transfer ke lebih kurang 73 ribu desa sebagai akibat terbitnya UU No.6 tahun 2014 tentang Desa sebesar Rp 9,1 T atau 0,5 persen dari APBN(Tempo.co, 28/08/2014). Paralel dengan masalah ini antrian usulan DOB semakin panjang yang pasti bersumber dari APBN pula. Atau ahhhh!!! masa bodoh dengan pertimbangan kedua, karena itu urusan pemerintah pusat bukan urusan kita!!! DOB adalah tujuan dari perjuangan kita.
Jembatan (perjuangan) politik yang putus
Tulisan ini berupaya mengajak publik sejenak untuk sedikit melihat kebelakang sembari melakukan pemetaan ulang terhadap proses yang sementara berjalan kemudian meresapi pesan apa yang muncul dari proses tersebut. Lalu, tanpa bermaksud mengabaikan berbagai persyaratan dalam pembentukan DOB (PP No.78/2007: Syarat teknis, administrasi dan fisik), semua pengorbanan tulus masyarakat untuk merealisasikan perjuangan ini, sebaiknya kita perlu bercermin dari proses-proses yang sudah berjalan sebelumnya. Nampaknya, ada sebuah “jembatan” yang putus dari perjuangan ini. Entahlah, hal ini disadari atau tidak oleh publik atau khususnya pejuang DOB.
Pengalaman empirik memberikan pembelajaran bahwa faktor politik banyak mewarnai keberhasilan perjuangan dari sebuah DOB. Artinya muara dari semua proses ini turut ditentukan oleh keputusan politik yang dalam hal ini berada di tangan DPR (lihat gambar 1). Kehadiran seorang anggota DPR ditingkat pusat tidak cukup sekadar merepresentasikan aspek wilayah tetapi juga merepresentasikan aspek kultural yang tidak terpisahkan sebagai faktor “X” yang ikut menentukan. Pengalaman dari kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya menunjukkan bagaimana seorang Dr. Manasse Malo (alm) yang pada saat itu berstatus sebagai anggota DPR mewakili Kabupaten Sumba Barat memainkan peran ini. Sebagai anggota DPR yang memiliki keterikatan kultural beliau mampu mengartikulasi aspirasi dan kondisi Sumba untuk meyakinkan pemerintah pusat dan anggota DPR lainnya, sehingga kemudian berujung pada pembentukan 2 DOB pada saat itu. Tentu saja perjuangan beliau bukan perjuangan seorang diri melainkan kolektivitas DPR. Namun dalam konteks beragamnya kepentingan yang dibawa oleh setiap anggota DPR, tetap dibutuhkan inisiator dengan keterikatan kultural yang kuat. Lantas… apa yang berbeda dengan perjuangan DOB di Sumba Timur saat ini?
Harus diakui bahwa saat ini Sumba tidak memiliki anggota DPR dengan keterikatan kultural yang kuat agar mampu mengartikulasi aspirasi publik sebagaimana yang dilakukan Dr. Manasse Malo (alm). Peluang untuk memperkuat daya dorongan terbentuknya DOB sudah kita “bunuh” dalam proses pemilu legislatif yang lalu. Jika kita masih cukup sadar, bahwa pemilu legisatif 2014 ada sejumlah nama yang masuk bursa calon DPR dan DPD. Mereka diantaranya dr. Umbu Marisi, MPH (pakar asuransi dan konseptor BPJS), Ir. Emanuel B. Eha, M.Si (mantan wakil bupati Sumba Timur), Umbu Hamakonda SE.,M.Si, (mantan Sekda Sumba Timur), Dra. Sylvia Anggraini M.Si(istri Alm Bupati Sumba Timur Ir. Umbu Mehang Kunda), Drs. Julianus Poteleba, M.Si (Mantan wakil bupati dan bupati Sumba Barat), Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, S.Sos (aktivis lingkungan). Sejauh pengamatan publik beberapa dari nama-nama ini memiliki rekam jejak dan kapabilitas yang tidak diragukan baik secara lokal, regional bahkan nasional. Lebih dari itu mereka memiliki ikatan kultural dan jarak sosial dengan publik Sumba. Namun, tidak lolosnya nama-nama di atas pada Pileg dan DPD 2014 yang lalu cukup memberikan pengaruh terhadap perjuangan menuju DOB dari aspek politik. Sayangnya peluang untuk memperkuat perjuangan politik sudah lewat dan sejarah tidak bisa diputar kembali.
Sumber: Jaweng dalam Analisis CSIS (2014)
Jembatan (Perjuangan) Melalui Kebijakan Publik
Lantas, pupuskah perjuangan menuju DOB? Tentu tidak, masih ada cara lain. Perjuangan pada aras ini mungkin tidak cukup populer dimata publik. Sebab sehari-hari publik sering bersentuhan dengan hal ini. Kendati tidak populer, tetapi hemat penulis jalan ini lebih realistik dan masuk akal serta terjangkau. Hanya saja perjuangan ini membutuhkan kegigihan, daya tahan dan daya kritis yaitu dengan memanfaatkan ruang dan arena kebijakan publik pada tingkat lokal.
Ruang dan arena ini, secara reguler menjadi bagian dari mekanisme perumusan melahirkan berbagai berbagai kebijakan publik dalam bentuk program kerja pemerintah daerah. Ruang dan arena dimaksud dapat diartikulasi dalam bentuk bagaimana publik bisa mempengaruhi proses perumusan sebuah perencanaan, menegosiasikan cara penganggaran dan mengawasi penerapannya. Kegigihan, daya tahan dan daya kritis publik untuk “bermain” dalam ruang dan arena ini akan menjadi alternatif dan pintu masuk untuk mendorong serta memelihara asa menuju DOB jika tiba saatnya (by product). Tanpa cara ini, perjuangan DOBpun akan pudar seiring berjalannya waktu karena kelalaian mengawal jalannya proses kebijakan publik. Kemudian publik akan disadarkan kembali manakala momen-momen politik seperti Pileg dan Pemilukada datang menghampirinya.
Strateginya, pertama; publik (para pejuang DOB) bisa membuka kembali hasil kajian Universitas Indonesia (UI) tahun 2008, kemudian memetakan berbagai indikator ekonomi yang saat itu berada pada “garis merah” yang menjadi persyaratan utama membentuk DOB. Kemudian secara paralel indikator-indikator ekonomi ini disandingkan dengan program dan kebijakan publik yang sudah berjalan selama ini. Adakah berkontribusi secara langsung atau tidak langsung guna menjawab garis merah tersebut? Seberapa besar ada perbaikan? Seberapa jauh perkembangan? Bagaimana proporsional distribusi alokasi sumber daya? Seberapa meningkat kualitas hidup masyarakat membaik? Jawaban terhadap beberapa pertanyaan ini memberi indikasi kuat bagaimana kadar good and political will pemerintah daerah pasca rekomendasi studi UI. Kedua, pada RAPBD 2015, sejauh mana perumusan kebijakan publik dan program mencerminkan adanya alokasi-alokasi kebijakan, program dan anggaran yang sifatnya adhoc untuk mengejar target-target perbaikan indikator ekonomi secara berkesinambungan sebagaimana rekomendasi hasil studi UI.
Guna mewujudkan strategi ini, instrumen yang bisa digunakan adalah melalui para wakil rakyat DPRD periode 2014-2019 yang akan segera dilantik. Sekaligus, ini menjadi titian ujian apakah mereka mampu mendorong adanya perubahan-perubahan pada aras kebijakan publik yang berorientasi pada pembentukan DOB atau tidak? [*]
*] Stepanus Makambombu, Kandidat Doktor Studi Pembangunan UKSW