Pengantar
Sudah seminggu lamanya kita berjalan di tahun 2015. Selain ada rasa syukur yang luar biasa karena bisa memasuki tahun baru, ada berbagai harapan baru berbentuk resolusi yang ingin digapai, apakah dalam konteks personal maupun kolektif (kelompok). Berbagai resolusi dimaksud bagaikan potongan puzzle yang menanti momentum untuk dirajut. Rajutan yang akan menampilkan sebuah gambar tekad dan motivasi kolektif berdaya gerak besar namun saling komplementer untuk mencapai sebuah kondisi yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Tidak berlebihan jika gambaran resolusi diatas ditransformasi dalam kehidupan kepublikan di Sumba Timur, sekurang-kurangnya momentum tersebut sudah diawali melalui pemilu legislatif (Pileg) yang menghasilkan anggota DPRD periode 2014-2019. Hasil Pileg dapat menjadi bagian dari rajutan gambar bangunan resolusi tahun 2015 terlepas dari berbagai “kekisruhan” yang dialami maupun dilakukan anggota dewan untuk mendapatkan kursi di parlemen lokal bahkan nasional.
Momentum ini menghadirkan berbagai harapan akan hadirnya sebuah spirit perubahan yang bermakna dan berdaya semangat (optimis). Sebuah perubahan yang tidak sekadar bermakna pada suksesnya periode lima tahunan yang dilewati. Bukan pula perubahan yang bermakna dan berdaya semangat oleh hadirnya wajah-wajah baru dan kekuatan politik baru (partai Nasdem, PKPI, PAN) dalam gedung pulu pamba bata bokulu di Sumba Timur. Tetapi perubahan dimaksud, adalah hadirnya berbagai kebijakan publik yang bebas dari “transaksi”. Kebijakan publik yang didasarkan pada spirit keberpihakan pada masalah kepublikan melalui optimalisasi peran dan fungsi ke-legislatif-an. Sebuah spirit yang melampaui kepentingan elit guna menjangkau warga yang sekian lama menjadi “korban” dari sebuah kebijakan publik yang transaksional.
Sementara dipihak lain, hadirnya sebuah birokrasi publik yang melayani menjadi bagian dari resolusi 2015 warga Sumba Timur yang ingin diwujudkan. Yaitu sebuah tatanan birokrasi publik yang digerakkan oleh internalisasi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (efektif, efisien, transparan dan akuntabel), yang mampu menghasilkan suatu kebijakan publik berorientasi pada kepentingan warga kebanyakan yang diterapkan secara inklusif. Sebuah tipikal birokrasi publik yang ideal-rasional sebagaimana dikonsepsikan Weber (Ritzer, 2012). Praktik ini mestinya menjadi prinsip kerja birokrasi publik yang melayani. Sebab, bagaimanapun hak-hak sebagai aparatur negara dan publik sudah lebih dahulu dipenuhi negara, seperti: gaji, tunjangan, ruangan kerja nyaman dilengkapi air condition dan televisi, alat transportasi dari yang standar sampai berkelas.
Namun, fakta empiris berkata lain, potret perilaku birokrasi publik saat ini semakin mencitrakan suatu perilaku yang diserang “penyakit” yang patologis (Siagian, 1994). Sebuah potret birokrasi yang tidak bisa membedakan wilayah publik dan privat, aset publik dan aset personal dalam mengelola sumber daya publik. Sumber daya publik beralih fungsi menjadi sumber daya privat. Bahkan ada pembiaran terhadap menurunnya kualitas fasilitas publik bahkan buruk. Sementara itu, tidak ada pilihan lain bagi warga selain memanfaatkan fasilitas publik yang ada, karena warga tidak bisa “mengadakan” sendiri, karena tanggungjawab ini sudah diserahkan kepada negara (pemerintah). Bila kita menganalogikan fasilitas publik sebagai “ruang kerja” warga, kita bisa saksikan suatu kondisi ruang kerja yang tidak layak, buruk dan bau: seperti kondisi pasar inpres, infrastruktur jalan dan bangunan yang buruk, meskipun dalam desain perencanaannya telah memenuhi kriteria standar kualitas. Perilaku pembiaran seperti ini menunjukkan suatu perilaku yang semakin menjauhkan harapan hadirnya sebuah birokrasi publik yang melayani.
Berubahnya praktik birokrasi publik yang ideal-rasional-impersonal menjadi tidak ideal disebabkan serangan penyakit patologis sebagaimana disebutkan di atas. Ini sumber munculnya berbagai persoalan yang dihadapi warga saat ini, baik pada skala makro maupun mikro. Oleh sebab itu, mengawali tahun 2015 kita diingatkan kembali pentingnya mencegah dan mengobati penyakit tersebut. Salah satunya melalui aspek pengawasan yang bekerja sehingga memungkinkan birokrasi publik yang melayani dibebaskan dari penyakit patologis.
Tantangan Pada Aras Makro
Secara makro percepatan pembangunan di Kabupaten Sumba Timur kalah bersaing dibandingkan tiga kabupaten tetangga kita di Pulau Sumba. Beberapa indikator dimaksud antara lain: pertama, pergerakan tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan sebuah trend yang moderat dan menempatkan Sumba Timur pada urutan ketiga (lihat grafik 1). Jumlah APBD yang lebih besar dibandingkan tiga kabupaten tetangga, ternyata tidak serta merta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih baik.
Rendahnya produktivitas masyarakat bisa jadi salah satu faktor penyebab. Dimana warga tidak mampu memproduksi barang dan jasa secara optimal karena daya beli yang rendah. Dalam zonasi perdagangan barang, Sumba Timur termasuk wilayah dengan indeks kemahalan konsumen yang tergolong tinggi. Kondisi ini tentu menyulitkan warga memenuhi kebutuhan untuk berproduksi. Meskipun ada produksi barang dan jasa namun hasilnya sekadar untuk bertahan hidup. Tidak heran jika kemiskinan terus menjadi persoalan serius (mengkhawatirkan) dari periode pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang berikutnya tanpa solusi yang tepat dan berpihak. BPS NTT (2013) merilis, indeks kedalaman kemiskinan di Sumba Timur tertinggi di NTT mencapai 6,93, sementara secara Propinsi NTT hanya 3,47 dan indeks keparahan kemiskinan juga tertinggi di NTT mencapai 2,35, sementara secara Propinsi NTT hanya 0,91.
Rendahnya produktivitas masyarakat bisa juga disebabkan perbedaan orientasi kebijakan publik yang menjadi arus utama rejim yang memerintah. Tidak berpihak pada sektor-sektor usaha dimana ada banyak warga bergerak didalamnya, tetapi membiarkan sektor-sektor tersebut berjalan seperti pasar bebas yang dikuasai sekelompok warga yang memangsa semua yang bisa dimakan. Gap pendapatan perkapita yang lebar dan tingkat kesejahteraan warga yang rendah, bisa menjadi salah satu penjelas dari arus utama kebijakan publik yang tidak berpihak. Meskipun Kabupaten Sumba Timur termasuk dalam kelompok kabupaten dengan tingkat pendapatan perkapita yang tinggi. Namun pada saat yang sama masuk pada kelompok kabupaten yang memproduksi jumlah penduduk miskin kategori tinggi di NTT (termasuk kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Timur Tengah Selatan). Hal ini mengonfirmasi adanya distribusi hasil pembangunan yang tidak adil dan merata dimana hanya dikuasasi oleh sekelompok orang atau tidak terjadi “pembangunan” sebagaimana diharapkan. Untuk kasus yang sama pada skala negara (Indonesia), Budiantoro menganalogikan sebagai pertumbuhan tanpa pembangunan (Opini Kompas,12/02/2014).
Kedua, tingkat kualitas kesejahteraan warga yang dapat dipantau dari pergerakan indeks pembangunan manusia (IPM) baru mencapai 63,33 atau berada pada posisi kedua dibawah kabupaten Sumba Barat yang mencapai 64,88. Pergerakan IPM ini mungkin akan segera dilewati oleh Kabupaten Sumba Barat Daya yang saat ini sudah mencapai 62,48 namun memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dalam kurun waktu 4 tahun terakhir yang mencapai 0,79 sementara Sumba Timur hanya mencapai 0,77.
Ketiga, persoalan internal daerah, yaitu kesenjangan sosial antar wilayah khususnya kota dan desa yang cukup besar yang dapat dipantau dari produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita. Bila kita membuat sebuah simulasi zonasi berdasarkan PDRB yang dicapai masing-masing kecamatan, kemudian menempatkan Kecamatan Kota dan Kambera sebagai titik sentralnya maka dapat disaksikan bagaimana gambaran kesenjangan itu terjadi. Kecamatan-kecamatan yang berada diluar Kecamatan Kota dan Kambera hanya mampu menghasilkan lebih kurang separuh dari PDRB per kapita Kecamatan Kota, bahkan untuk skala Sumba Timurpun hanya mampu menghasilkan 3/4 dari total PDRB yang dicapai oleh Kecamatan Kota (lihat grafik 2).
Tantangan Pada Aras Mikro
Pada aras mikro menunjukkan semakin marginalnya sektor pertanian yang selama ini menjadi tumpuan hidup warga dan mayoritas warga bekerja pada sektor tersebut. Trend kontribusi sektor ini terhadap PDRB terus menurun dari waktu ke waktu. Selama kurun waktu +/- 10 tahun mengalami laju pertumbuhan negatif yang mencapai -2,2 persen (BPS, ST 2005-2013). Angka ini mengonfirmasi kinerja sektor yang terus menurun dari waktu ke waktu. Pemicunya bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti; kurang berfungsinya lahan-lahan produktif, fenomena alam (iklim) yang tidak bisa diatasi maupun ketidakmampuan menciptakan nilai tambah dari produk-produk pada pada sektor tersebut. Kondisi ini menampilkan sebuah realita berwajah paradoks. Sebab, pada saat yang sama sektor ini justru masih menjadi penopang yang berkontribusi terhadap keberlangsungan kehidupan warga sehari-hari, maupun bagi +/-68 persen tenaga kerja yang bekerja di sektor ini (BPS,ST 2013).
Secara statistik data produksi subsektor pertanian tanaman pangan (padi/beras) selama kurun waktu 2008-2013 menunjukkan trend meningkat (lihat grafik 3). Namun peningkatan ini sudah tidak sebanding lagi dengan tingkat konsumsi (kebutuhan) warga Sumba Timur saat ini. Rata-rata produksi padi selama kurun waktu di atas mencapai +/-34.879 ton per tahun. Bila dikonversi dalam bentuk beras berjumlah +/-17.440 ton per tahun. Sementara itu, ada rata-rata +/-19.705 ton beras per tahun yang masuk ke Sumba Timur melalui pelabuhan laut. Jika ini diasumsikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pangan warga Sumba Timur maka kebutuhan beras warga Sumba Timur saat ini sudah mencapai mencapai +/-37.144 ton per tahun (produksi beras lokal + beras dari luar). Mencermati jumlah beras yang mampu diproduksi lokal dengan beras intervensi dari luar, mengonfirmasi bahwa 53,05 persen kebutuhan beras warga Sumba Timur harus didatangkan dari luar (impor) sementara produksi beras lokal hanya mampu memenuhi 46,95 persen guna memenuhi kebutuhan beras bagi 237.956 jiwa atau 46.486 rumah tangga.
Ditengah-tengah menurunnya pertumbuhan sektor pertanian yang terus negatif, perkembangan sektor perdagangan dan jasa menunjukkan trend positif. Selama kurun waktu +/-10 tahun terakhir kedua sektor ini mencapai laju pertumbuhan positif masing-masing 3,47 persen dan 3,74 persen. Namun, trend positif ini memiliki beberapa catatan kritis yang perlu mendapat perhatian publik dan para pengambil kebijakan. Pertama, basis pergerakan sektor perdagangan bukan bertumpu pada produk lokal (sektor primer seperti pertanian) melainkan sangat bergantung pada produk dan komoditi dari luar daerah. Studi Hudang (2011) mengonfirmasi produk dan komoditi yang saat ini membanjiri pasar lokal berasal dari Bima, Bali, Jawa, dan Sumba Barat Daya. Sayangnya, produk dan komoditi tersebut bukan digerakkan oleh entrepreuner lokal atau warga lokal melainkan oleh entrepreuner migran. Kalaupun ada enterpreuner lokal yang bergerak pada sektor ini, mereka merupakan kelompok entrepreuner lokal yang bergerak pada sektor “usaha kasta marjinal”. Yaitu, sebuah aktivitas usaha kelompok yang hanya bisa mengakses di trotoar maupun pinggiran pasar. Hal ini mengonfirmasi pula, bahwa perubahan demografi wilayah perkotaan yang sementara terjadi pada Kota Waingapu oleh adanya pergerakan entrepreuner migran tidak hanya memberi tekanan pada pertambahan jumlah penduduk Kota Waingapu melainkan berpengaruh pada akses terhadap sumber daya lokal (APBD) yang ada.
Oleh sebab itu, kendatipun laju pertumbuhan sektor ini menunjukkan trend positif namun hanya bermakna kuantitatif bagi peningkatan nilai PDRB. Tidak memberikan makna secara kualitatif bagi penghidupan warga Sumba Timur karena manfaatnya lebih banyak berdampak diluar Sumba Timur. Kasus-kasus seperti ini disebut sebagai kebocoran wilayah (regional leakages) dimana nilai tambah ekonomi dari sebuah produk atau komoditas terjadi diluar wilayah maupun karena ketergantungan yang tinggi pada produk dan komoditi dari luar mengakibatkan modal uang banyak mengalir keluar.
Kedua, sama halnya dengan sektor perdagangan, basis pergerakan sektor jasa yang terus menunjukkan trend positif tidak memiliki keterkaitan dengan sektor primer. Faktor penggeraknya bukan oleh usaha masyarakat tetapi sebagian besar digerakkan oleh belanja atau usaha pemerintah yang mencapai 67,3 persen, sementara yang digerakkan oleh sektor swasta atau masyarakat hanya mencapai 32,7 persen.
Kesimpulan yang bisa diambil dari kedua catatan diatas, bahwa, kendatipun laju pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa-jasa menunjukkan sebuah trend positif tetapi dilihat dari sisi manfaat dan aktor penggeraknya jauh dari akses warga lokal. Basis pergerakannya bukan bersumber pada sektor primer (pertanian) yang didalamnya ada +/-68 persen tenaga kerja yang merupakan warga lokal (BPS ST, 2013). Paralel dengan realita ini, warga lokal lebih berperan sebagai obyek (konsumen) ketimbang sebagai subyek dari sektor tersebut. Kondisi yang sementara berlangsung menggambarkan suatu praktik penyedotan sumber daya lokal (finansial) atau yang disebut kebocoran wilayah. Sumber daya (APBD) yang sesungguhnya diperuntukkan guna menggerakkan roda perekonomian warga agar terjadi perbaikan penghidupan warga, namun mereka sendiri tidak mampu menikmatinya secara adil dan berkelanjutan (bersambung…)