SEBUAH PROLOG DIAWAL TAHUN 2015 (Bagian 2)

oleh
oleh

Tulisan berikut ini adalah kelanjutan dari tulisan pertama. Tulisan pertama silahkan di baca di sini

Resolusi 2015

Bagaimana menyelesaikan persoalan di atas? Jawabannya memang tidak mudah, namun bukan berarti jauh dari jangkauan desain kebijakan. Otonomi daerah yang saat ini berada dalam genggaman rejim yang memerintah mestinya bisa menjadi peluang mengatasi hal di atas. Ada banyak bukti empiris yang menunjukkan daerah-daerah otonomi baru mampu melakukannya (Yunairi dkk, 2013) . Kunci keberhasilan mereka terletak pada kemampuan mendiskresi kewenangan, melakukan inovasi (terobosan) dan kreatifitas yang kemudian disertai dengan kemauan, keberpihakan dan konsistensi.

Ruang untuk melakukan terobosan sudah sangat terbuka dengan otonomi daerah. Bahkan hal ini diperkuat melalui Peraturan Presiden RI No.81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Salah satu prinsip dari reformasi birokrasi yang diamanatkan oleh regulasi di atas adalah “memberikan ruang gerak yang luas bagi Pemda untuk melakukan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pertukaran pengetahuan, dan best practices untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik”. Kemudian operasionalisasinya diperkuat melalui Permen Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi No. 37 Tahun 2013 Tentang Penyusunan Pedoman RoadMap Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah. Salah satu fokus dari roadmap ini adalah “peningkatan pelayanan publik, dimana Seluruh SKPD didorong untuk melakukan inovasi-inovasi dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan ataupun efisiensi dan efektivitas proses pelaksanaan pemerintahan daerah”.

Sebagian bagian dari resolusi 2015, tulisan ini ingin mengangkat sebuah contoh sederhana tentang inovasi. Sejatinya, ide tentang terobosan (inovasi) sudah diinisiasi Pemda Sumba Timur melalui Perbup No.130/2009 Tentang Diversifikasi Pangan melalui Gerbang Hilu Liwanya. Sayangnya, konsistensi Pemda dalam menjawab tujuan Perbup masih diragukan. Contohnya, tidak semua acara Pemda selalu menyajikan konsumsi pangan lokal. Eksistensi pangan lokal hanya muncul pada momen-momen seremonial di lingkungan Pemda maupun DPRD. Namun tidak demikian dalam keseharian di kantor-kantor. Apalagi dilingkungan luar perkantoran Pemda dan DPRD pangan lokal belum menjadi tradisi untuk dikonsumsi secara berkesinambungan.

Baca Juga:  Menembus Batas: Fenomena Politik Kaum Muda, Kenapa Kaum Muda Dibutuhkan di Sumba?

Bila kita mencermati Perbup ini secara bijak dan mau menerapkan secara konsisten, maka ada nilai-nilasi strategis yang dikandung oleh Perbup di atas, yaitu: (1) Ada nilai kearifan lokal yang mau dilestarikan yaitu penghargaan terhadap hasil budidaya pangan lokal sebagai karya para leluhur pada masa lalu. Suatu karya budidaya yang cocok dengan tipologi iklim wilayah Sumba yang mungkin akan terus bertahan sepanjang generasi; (2) Ada misi penciptaan nilai tambah dari produk lokal dengan sentuhan pengetahuan dan teknologi bila diolah dalam berbagai bentuk tampilan makanan; (3) Ada misi menciptakan rasa memiliki dan bangga terhadap tanaman pangan lokal. Rasa memiliki dan kebanggaan yang akan menciptakan tumbuhnya pasar lokal yang kompetitif; (4) Ada misi memutus rantai ketergantungan pada produk pangan dari luar yang saat ini menguasasi pasar lokal. Cara ini akan mampu menekan tingkat kebocoran wilayah yang sementara terjadi; (5) Ada misi menciptakan “branding hidup sehat” mengonsumsi pangan lokal bagian dari menciptakan pola hidup sehat. Mengingat pola penanaman sampai pengolahan yang bebas dari unsur pestisida kimia, sehingga menjadikan pangan lokal sebagai pangan yang sehat dikonsumsi.

Baca Juga:  PEDAS ALA CABE–CABEAN

Dari sisi anggaran tidak sulit untuk melakukannya. Tengok saja, belanja makan minum Pemda dalam APBD per tahun tidak kurang Rp 2,5 milyar. Bila 50 persen saja dari alokasi belanja makan minum Pemda bisa diakses warga desa, maka dalam kurun waktu Rp 5 tahun (1 periode pemerintahan) semua desa di Sumba Timur akan mengelola dana sekitar Rp 5 M atau paling kurang Rp 100 juta per desa. Sebuah jumlah yang cukup signifikan untuk memproduksi pangan lokal sekaligus penciptaan pasar baru yang kompetitif antar desa. Bila program ini sukses maka bencana tahunan rawan pangan dapat diatasi, sebagaimana best practices desa Mbatakapidu dibawah pemerintahan Jacob Tanda. Beliau berhasil membawa desa Mbatakapidu menjadi desa yang sukses mengatasi rawan pangan, yang kemudian mendapat penghargaan nasional sebagai pejuang desa mandiri pangan versi MNCTV (MNCTV.Com,10/11/2013). Andaikan nilai-nilai strategis produk inovasi sebagaimana dideskripsikan di atas melembaga dalam pola-tindak birokrasi dan pengambil kebijakan, maka kita bisa saksikan saat ini bagaimana pergerakan ekonomi desa dan daerah bergeliat sejak dicanangkan 5 tahun silam.

Bagaimana mengawal bekerjanya birokrasi publik yang melayani untuk menghasilkan terobosan maupun mengawal terobosan agar konsisten penerapannya, menjadi salah satu tugas DPRD. Mereka bisa melakukannya melalui penggunaan tiga (3) fungsi yang dimiliki, yaitu pengawasan, penganggaran, dan regulasi. Pertanyaannya, apakah DPRD kita mampu? Dilihat dari profil anggota DPRD Sumba Timur 2014-2019 menunjukkan 23,3 persen (7 orang) merupakan anggota DPRD petahana dan 16,7 persen (5 orang) pernah menjadi anggota DPRD pada periode 2004-2009, sementara 60 persen (18 orang) merupakan pendatang baru. Hal ini mengofirmasi pula bahwa 40 persen dari mereka merupakan anggota parlemen yang sudah memiliki pengalaman di parlemen, sementara 60 persennya baru akan mengenali dan mengerjakan tugas-tugas sebagai parlemen.

Baca Juga:  Catatan Kritis FP2ST: Anggaran Miliaran, Pembangunan Irigasi D.I. Mata Desa Wanga Mubazir

Dari rekam jejak mereka publik diberi gambaran bahwa ada 27,8 persen (5 orang) dengan latar belakang pensiunan birokrat. Pengalaman mereka sebagai pensiunan birokrat merupakan sebuah nilai positif sehingga mudah mengenali cara kerja birokrasi dan tahu bagaimana mengawasinya. Sementara itu, 72,2 persen (13 orang) merupakan pendatang baru dengan rekam jejak yang belum cukup diketahui publik. Sedikit informasi yang diperoleh, beberapa diantaranya berprofesi sebagai kontraktor dan sebagiannya berasal dari organisasi masyarakat sipil. Kendatipun pengetahuan publik tentang rekam jejak mereka sangat minim, tetapi publik percaya dan menggantungkan harapan agar mereka mampu membawa perubahan yang bermakna dan berdaya semangat. Perpaduan antara pengalaman dan spirit perubahan yang berdaya semangat diantara mereka inilah yang dinanti-nanti publik.

Oleh sebab itu, publik perlu mengawasi dan mendorong mereka agar fungsi kontrol tidak sekadar bagaimana menghasilkan dokumen yang baik (administratif) tetapi lebih dari itu, bagaimana aktualisasi dan akuntabilitas dari fungsi kontrol yang diemban bermakna untuk menghasilkan birokrasi publik yang melayani dan pada akhirnya bermakna bagi banyak oran.[*]

Komentar