Haharu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, – Merumuskan solusi untuk masalah-masalah di sekolah ternyata tidak selalu gampang. Solusi yang ditawarkan kadang tidak bias memecahkan masalah secara komprehensif.
Oleh karena itu, untuk membantu para peneliti yang merupakan Fasiliatator Daerah INOVASI Sumba Timur memfasilitasi pemecahan masalah-masalah sekolah, Afifuddin, Education Officer INOVASI memberikan banyak tip memecahkan masalah-masalah di sekolah dengan menggunakan beberapa komponen pendekatan PDIA (Problem Driven Iterative Adaptation), sebuah pendekatan khas program pendidikan INOVASI.
Misalnya, di Haharu, salah satu kecamatan di Sumba Timur, beberapa guru yang diteliti pada tahap awal penggunaan eksplorasi PDIA menyatakan masalah di sekolahnya diantaranya sebagai berikut: siswa belum bias membaca lancar, metode pembelajaran belum bervariasi,kurangnya media pembelajaran dan lain-lain.
Menurut Afif, agar perumusan solusi yang dilakukan lebih komprehensif dan lebih tepat, pernyataan-pernyataan masalah tersebut, harus digali lebih dalam, dicari sampai akar masalahnya. Salah satunya dengan menggunakan 5-whys atau lima mengapa yang diajukan secara berurutan? Mengapa media pembelajaran di sekolah tersebut kurang? Kalau guru menyatakan karena mereka kurang kreatif, pernyataan tersebut harus terus dikejar dengan pertanyaan lanjutan, mengapa kurang kreatif? Dan pertanyaan-pertanyaan mengapa selanjutnya sampai didapatkan jawaban yang dianggap sudah mentok atau jelas akar masalahnya. Setelah ditemukan akar masalah, maka solusinya baru dirancang.
Namun menurut Afifuddin, kalau solusi yang ditemukan satu saja, barangkali ada kesalahan perumusan akar masalahnya. “Aturan dasarnya adalah jika kita tidak temukan kurang lebih tiga alternative solusi untuk satu masalah, sebenarnya kita tidak memiliki masalah. Kita bias jadi merumuskan solusinya itu sendiri sebagai masalah. Itu berarti kita belum temukan akar masalahnya” kata Afif selanjutnya baru baru ini.
Misalnya, menurut Afif, saat masalah yang dinyatakan guru adalah kurangnya media pembelajaran dan solusi yang ditawarkan adalah memperbanyak media pembelajaran. Maka masalah yang dinyatakan tersebut bukanlah masalah, tapi solusi yang disalah tempatkan sebagai masalah. Pendidik oleh karenanya harus menggali akar masalahnya kembali. “ Pernyataannya masalahnya perlu diperbaiki,” ujarnya.
Tips yang kedua, untuk solusi masalah, perumusannya bias menggunakan 5 bagaimana atau five hows? “ Misalnya masalah di sekolah adalah kurangnya kemampuan guru menggunakan media, solusi yang diberikan digali sebanyak-banyaknya sampai kurang lebih lima macam, misalnya dengan melatih guru menciptakan media, membaca banyak buku, melakukan pertemuan belajar antar mereka sendiri atau KKG dan lain lain. Dari berbagai alternative solusi tersebut, dipilih solusi yang paling memungkinkan untuk dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya, kemampuan sekolah dan lain-lain,” ujarnya lebih lanjut.
Tips yang ketiga, kalau five hows pertama dengan banyak alternative solusi, five hows kedua dengan solusi secara bertingkat. “Misalnya pada masalah guru kurang mampu mengajar membaca. Kalau solusi yang diajukan adalah guru harus dilatih penguasaan membaca, solusi tersebut terus diperdalam lagi dengan pertanyaan bagaimana bentuk pelatihan membacanya? Dan bagaimana selanjutnya sampai solusi tersebut bersifat operasional,” ujarnya
Dengan beberapa metode merumuskan solusi ini, Afifuddin berharap masalah-masalah sekolah bias teratasi oleh sekolah itu sendiri secara lokal. “Beberapa metode ini yang diperkenalkan ke para guru, kepala sekolah dan para pendidik sekolah lain dimaksudkan agar sekolah bias merumuskan sendiri masalah di sekolahnya dan mengatasinya secara mandiri,” kata Afif
Menurut Afif, dengan kemampuan para guru, kepala sekolah dan para pendidik lainnya menemukan masalah dan merumuskan solusinya dengan benar, sekolah bias menjadi berdaya dan tidak tergantung lagi dengan arahan-arahan dari pihak-pihak lain.
Mbedu Pekarihi, salah seorang kepala sekolah (Kepsek) di Kadahang, Sumba Timur menyatakan bahwa setelah mempraktikkan penggunaan metode-metode sederhana tersebut, ia mendapatkan banyak inspirasi memecahkan masalah di sekolahnya. “Kita akan melakukan model begini di sekolah bersama guru, atau di KKG gugus. Berusaha bersama-sama dengan mereka merumuskan masalah dengan tepat dan mencari alternative solusinya sehingga sekolah lebih berkualitas,” ujarnya.
Demikian juga ibu Dorkas Kondanamu, Kepsek. SD Inpres Kamalaputi merasa terinpirasi dengan pelatihan pemecahan masalah secara local dan praktiknya tersebut. “Selama kami melakukan penelitian, ternyata yang banyak dinyatakan oleh guru pernyataan solusi, tapi yang dibungkus sebagai masalah. Jadi seharusnya pernyataan tersebut diteliti lebih jauh, supaya didapatkan masalah dengan banyak alternative solusi,” ujarnya.
Program INOVASI di NTT dimulai pada bulan Juli 2017. Penandatanganan MoUnya dengan pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur dilakukan bulan November 2017. Program pendidikan yang didanai oleh pemerintah Australia ini akan dilaksanakan sampai akhir tahun 2019.
*Mustajib, Communication Officer Innovation For Indonesia’s School Children (INOVASI)