Waingapu.Com, Kupang – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT mengkritisi Gubernur dan DPRD NTT dalam kaitan dengan buruknya tata kelola agraria. Suara kritis WALHI itu digemakan hanya beberapa hari pasca perdebatan panas antara Gubernur, Viktor B. Laiskodat dengan Umbu Maramba Hau di Sumba Timur. Dalam rilisnya yang diterima media ini, WALHi menegaskan, peristiwa yang terjadi di Kabaru itu dan beberapa konflik agraria adalah fenomena gunung es.
Dikatakan Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, fenomena itu menjelaskan betapa buruknya penanganan tata kelola agraria di NTT. Baik oleh eksekutif, legislatif, yudikatif hingga distorsinya kelembagaan adat dalam konteks agraria. WALHI mencatatt, kejadian konflik yang terus berulang antara gubernur dan rakyat akibat buruk sistem tata Kelola pemerintahan di propinsi NTT.
Dalam siaran persnya, WALHI menyatakan salah satu faktor utama dari konflik agraria di NTT akibat DPRD ‘mati angin’ dalam menjalankan fungsi legislatifnya yang dimandatkan oleh konstitusi dan peraturan perundangan. Contohnya, fungsi DPRD yakni pengawasan dan penyerapan aspirasi konstituen, tindak tanduk birokrasi eksekutif dan yudikatif dalam konteks kepentingan agraria
Dalam catatan WALHI NTT, berbagai kasus agraria yang terus berulang dari tahun ke tahun, tidak pernah diseriusi oleh DPRD di ruang ruang persidangan dan masa reses. Disebutkan sejak tahun 2018 hingga kini DPRD tidak pernah memanggil gubernur untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi tentang berbagai kasus agraria yang melibatkan gubernur di dalamnya atau menyampaikan ke publik hasil – hasil persidangan DPRD dalam konteks agraria di NTT.
“DPRD NTT mengabaikan perannya sebagai penyuara aspirasi rakyat dan mitra yang setara dengan gubernur dalam penyelesaian konflik konflik agraria di NTT,” ungkap Umbu Wulang sembari menegaskan sikap WALHI yang mengecam kekerasan kekuasaan terhadap rakyat.
Sehubungan dengan itu, WALHi NTT, kata Umbu Wulang menyatakan sikap, bahwa Peristiwa konflik agraria yang terus berlangsung di NTT adalah buah dari kegagalan kolektif dalam menjalankan sistem pemerintahan untuk memahami dan menyelesaikan persoalan agraria di NTT. Mulai dari perspektif, perencanaan hingga implementasi. Selain itu, diakibatkan oleh lemahnya gubernur dalam melakukan konsolidasi birokrasi mulai dari protokoler hingga dinas – dinas teknis dalam kepastian hukum atas tanah dan membangun komunikasi dengan rakyat.
Tak sampai di sini, WALHI melihat konflik agraria di NTT disebabkan oleh buruknya atau tidak bergeraknya (mati angin) fungsi pengawasan, kebijakan dan anggaran di DPRD Propinsi NTT sebagai elemen pemerintahan sehingga yang tampak Gubernur melakukan One Person Show bukan One System Show. Konflik yang terjadi juga diakibatkan oleh terjadinya distorsi tata kelola kelembagaan adat dalam konteks agraria di NTT.
Dalam rilisnya WALHI juga menyarankan Gubernur untuk menghentikan aktivitas beliau menyelesaikan persoalan persoalan teknis agraria di tingkat tapak. Gubernur perlu untuk mengkonsolidasikan dinas – dinas terkait dan teknis untuk menyelesaikan persoalan persoalan teknis dan substansi di tingkat tapak pembangunan sebagaimana tupoksi yang berlaku. Selain itu menghentikan praktek-praktek para mafia dan makelar tanah yang bertindak di luar koridor hukum dan kepantasan etika atau pranata masyarakat adat di NTT. (ion)