Sahut-sahutan bendera Merah-Putih yang berkibar menghiasi langit Humba bergandengan umbul-umbul yang selalu memilih bentuknya sendiri telah menjadi warna tersendiri disetiap bulan Agustus untuk memperingati HUT RI-72. Dalam perayaan kali ini ada satu kegiatan yang berhasil menarik perhatian penulis yakni parade puisi kemerdekaan yang dilakukan oleh Ana Humba Community di Taman Kota Waingapu tanggal 22 Agustus yang juga turut di meriahkan GMNI Waingapu yang berhasil mempertontonkan kekayaan budaya Sumba melalui lantunan luluk yang disampaikan dalam durasi waktu kurang lebih 7 menitan itu.
Sebuah daerah pasti memiliki ciri khas dalam praktek kebudayaannya begitupun halnya dengan Sumba. Yang menarik bagi penulis adalah ketika selama mengikuti praktek kebudayaan di Sumba ada satu bagian menarik yang selalu berhasil merengguh perhatian penulis yakni bahasa adat Sumba, luluk namanya yang menurut penulis tidak
sembarang orang dapat mengerti dan melakukannya.
“Luluk adalah sebuah prosesi adat yang dilakukan oleh juru bicara atau wunang yang merupakan utusan atau perwakilan sebuah kelompok/keluarga yang sedang mengadakan sebuah kegiatan atau acara,” tutur Adi Tamu Ama setelah menyelesaikan lantunan luluknya di Taman Kota Waingapu beberapa waktu lalu.
Adi juga menambahkan bahwa luluk merupakan sesuatu yang fleksibel dalam penggunaannya contohnya saja luluk biasanya hanya ditemui dalam acara-acara adat saja saat ini dapat kita jumpai dimana saja karena pada intinya luluk adalah sarana komunikasi dan media informasi yang lekat dengan nilai budaya yang tinggi.
Luluk dalam sejarah adalah sebuah ritual adat yang wajib ada dalam sebuah acara adat dan ritual hamayang bagi penganut Kepercayaan Marapu sebagai media komunikasi manusia dengan Tuhan yang kemudian akan menjembatani hubungan baik manusia dan Tuhan. Luluk adalah media ibadah penganut kepercayaan marapu seperti terkandung dalam kalimat “Tau nji Tau”, “Mawulu Tau”, “Mambalaru Ru Kahillu Ma Bakulu Wua Matana”, dan sebagainya.
Luluk menggunakan bahasa mendalam yang sangat rumit dan disampaikan dalam tempo yang cepat dengan rima yang teratur, dan hanya dilakukan pada momen-momen tertentu. Namun, dengan perkembangan jaman yang terjadi luluk telah dimoderinisasi tanpa mengurangi nilainya sebagai sebuah warisan budaya dan dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan.
Luluk dalam beberapa penggunaannya sebagai berikut; dalam acara perkawinan luluk digunakan sebagai media komunikasi antara keluarga mempelai perempuan dan laki-laki yang juga menjembatani dua keluarga dalam pengurusan transaksi belis dimana terdiri dari dua wunang dan dua kandihang (orang yang bertugas menjawab dan
mengiyakan Wunang) yang berada dalam pengarahan penuh keluarga. Sedangkan dalam acara pernikahan luluk akan berperan untuk menceritakan cara mereka bertemu hingga akhirnya memutuskan untuk menikah.
Dalam adat kematian luluk juga berperan penting dalam menceritakan alur kematian seseorang, keberadaannya selama hidup, hingga strata sosial yang disandang seseorang. Luluk juga pada malam pahadang (membangunkan orang mati dalam artian dalam kepercayaan marapu orang yang meninggal harus dibangunkan sampai 4 kali jika tidak menyaut baru memukul gong) memiliki peran yang penting selayaknya berhubungan dengan roh. Selain itu, pada malam pamatu maling (malam penentuan prosesi penguburan) luluk menjadi alat komunikasi untuk menemui titik terang.
Namun kekayaan budaya kita ini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan hal ini bukan lagi rahasia umum karena dalam kehidupan kita yang serba modern, hari ini dapat kita simpulkan dari pemandangan yang sangat akrab dengan mata adalah bahwa pementasan budaya luluk selalu didominasi oleh aktor-aktor tua yang
menurut saya ada dalam fase menyiapkan kematian dalam waktu dekat dan juga mungkin saja akan mati bersama luluk karena ketik autahuan kaum muda.
Kaum muda atau lebih merdu disebut generasi penerus enggan untuk belajar mengenai luluk ini terbukti manakala orang muda yang bisa berbahasa adat dapat dihitung dengan jari. Orang muda menurut saya berhasil ketika ia mampu menjaga budayanya beriringan dengan pengetahuan yang ia miliki setikdaknya jika orang muda tidak mampu melakukannya ia mampu menikmatinya sebagai bahan cerita yang baik bagi anak dan cucunya nanti.
“Jika kau tidak mampu melakukan sesuatu untuk keberlangsungan sebuah budaya maka kau bisa menikmatinya untuk menjadi bahan cerita baik yang akan mempertahankan budaya dikalangan anak dan cucumu”.
Demikian ulasan luluk yang coba saya gali dan saya uraikan sesuai pemahaman dan realita yang saya lalui sebagai orang Sumba, pada akhirnya tersisa satu misteri yang patut kita pecahkan bersama ‘mengapa luluk diucapakan dalam tempo yang begitu cepat?”[*]
Penulis: Sepritus Tangaru Mahamu