Panas dingin cuaca di Sumba mempengaruhi cara berfikir saya bahkan dari hal yang paling kecil mengubah cara saya meneguk kopi. Sumba adalah salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak sekali potensi, salah satunya adalah bidang pariwisata yang belakangan ini menjadi perhatian publik baik di dalam maupun di luar negeri, ditambah dengan keberadaan salah satu hotel terbaik dunia di dalamnya yakni Nihiwatu.
Belakangan ini terjadi perbincangan hangat didunia maya mengenai Sumba setelah salah satu stasiun tv swasta nasional mengatakan Sumba sebagai Sumbawa ketika menyiarkan sebuah kegiatan deklarasi salah satu Cagub-Cawagub NTT di Waingapu. Hal yang cukup membuat saya risih adalah ketika netizen menjadikan ini sebagai sebuah senjata untuk menyalahkan media dan wartawan tanpa menggali informasi terlebih dahulu dan mereka menyamaratakan semua media dan wartawan dengan stigma-stigma miring mereka.
Sebenarnya ini menjadi pekerjaan rumah kita agar Sumba dikenal tetap sebagai Sumba bukan Sumbawa, sehingga lebih mudah diingat dengan mempertahankan budaya kita yang menjadi ciri khas kita, menyapa tamu dengan ramah dan menyodorkan ‘buala happa’ sesekali berfoto dengan pakaian adat dan posting ke semua media sosial dan mencantumkan lokasi dengan baik. Mengunjung tempat wisata kita sendiri dan kita posting ke semua akun sosmed kita agar dunia tau di Indonesia ada Sumba.
Dan bagi teman-teman media mari kita terus berbenah dan lebih teliti agar pro dan kontra yang cukup mengganggu seperti ini tidak lagi terjadi. Dan tugas kita semua adalah bercerita tentang Sumba baik lewat foto, video, dan tulisan. Jika memang rasanya sulit setidaknya mari kita membagikan konten-konten tentang Sumba di sosmed agar tidak menjadi asing baik di skala nasional ataupun internasional.
Sebelum kita terlalu lama berdiskusi tentang Sumba maka kita perlu rasanya menggali kembali sejarah awal mula kedekatan pulau Sumba dan Sumbawa. Selain karena faktor geografis ternyata ada unsur sejarah yang melekat dalam semboyan “hanggula ratu njawa hangaji ratu ndimma” ini membuktikan bahwa dulu kita sangat berelasi sangat erat dengan kerajaan di pulau Jawa dan kerajaan Bima, jika semboyan ini coba saya terjemahkan secara lurus dengan pemahaman dan wawasan saya secara pribadi tentang sejarah di pulau ini maka artinya adalah bahwa dulu nenek moyang kita mengakui kerajaan di Jawa dan dulu pusat kerajaan masih di Bima. Ini dapat dibuktikan dengan adanya orang Sumba yang bernama Umbu Ndima dan Umbu Jawa sehingga tentu ini berhubungan erat dengan pemahaman tentang perbedaan antara orang Sumba dan sumbawa.
Terimakasih dan mohon maaf jika ada kesalahan penafsiran sejarah dari saya tapi sejauh itu yang coba saya gali dari diskusi dengan orang-orang yang mengerti budaya. Dan pada akhirnya saya menegaskan Bahwa Sumba adanya di NTT, Sumba adalah pulau dengan padang yang luas rumah kuda-kuda yang berlarian sesuai slogan ‘Matawai Amahu Pada Njara Hammu’.
Sumba adalah daerah yang Buala Happanya memberi cinta dengan ramah yang memaksa dikau juga mencari cinta di dalamnya, Sumba adalah tempat yang kaya Objek Wisata seperti Weikuri, pantai Lamboya, pantai Tarimbang, Pantai Walakiri, Mananga Aba, Air terjun Lapopo, Air Terjun Laputi, kampung-kampung adatnya yang terawat, dan banyak hal lain yang menyejukkan mata para pengunjungjangnya. Jika tidak percaya maka mai la Humba!!
-Kami Sumba buakan Sumbawa, kami adalah Sumba tanpa Wa dan hal yang perlu diingat kami juga menghargai Sumbawa dan mencintainya dalam kemajemukan Indonesia yang satu-
Penulis: Sepritus Tangaru Mahamu, Dinamisator Komunitas Ana Tana di Kawangu