Waingapu.Com – Sepak terjang mafia tanah sudah tentu meresahkan namun tidak mudah untuk meringkus atau bahkan mengendus keberadaannya. Namun demikian, di Sumba Timur, NTT, indikasi keberadaan mafia tanah itu nampaknya telah ‘terendus’. Hal itu nampak dalam penegasan setidaknya dua politisi yang duduk sebagai legislator pada DPRD setempat.
Adalah Abdul Haris dan Umbu Kahumbu Nggiku, selaku anggota dan Wakil Ketua DPRD Sumba Timur, Rabu (19/01) dalam sidang klarifikasi terkait polemik sertifikasi tanah di wilayah Tanjung Sasar, Kecamatan Haharu, mengungkapkan kekesalan dan juga pencermatannya.
“Ada yang punya tanah 10×10 saja sulit dapat sertifikat karena ada satu orang yang protes. Heyy, ini ada orang satu kampung yang protes sejak tahun 2017, namun tetap diukur, ada apa ini teman-teman pertanahan?” tandas Abdul Haris sembari memukul meja.
Tak sampai disini, politisi yang berdomisili di Kelurahan Kemala Putih dan juga sebelumnya dikenal sebagai kontraktor itu juga mengunggkapkan, jika sampai ada warga yang keberatan, namun sertifikatnya bisa keluar, tentu menjadi pertanyaan besar. Ada masalah dan ada yang protes, kata Haris, namun bisa diukur dan keluar sertifikat, tentu ada sindikat dan mafianya.
Pergantian Kepala ATR/BPN yang memang lebih lugas disebut warga sebagai Kantor Pertanahan itu telah silih berganti. Tapi sayangnya persolan pertanahan tidak jua surut. Sebagaimana dicermati Umbu Kahumbu Nggiku, yang akrab disapa Umbu Hamang oleh keluarga dan teman-temannya itu, tidak lain karena memang ada mafia pertanahan.
Umbu Hamang yang juga ketua DPC PDI-Perjuangan Sumba Timur itu bahkan dengan gamblang menyebut keberadaan dan jejaring mafia tanah.
“Kalau saya ikuti alur pemikiran saya punya saudara tadi (Abdul Haris, – red), saya bisa katakan, mohon maaf Kepala Pertanahan, bahwa mafia itu ada di tubuh anda! Kepala Mafianya itu anda! Terus pemerintah bla-bla di bawah,” tohok Umbu Hamang, yang spontan direspon aplaus dari perwakilan warga desa Napu dan Wunga serta elemen mahasiswa dari organisasi GMNI Sumba Timur.
Sidang klarifikasi yang juga menghadirkan unsur pemerintah kabupaten Sumba Timur, pimpinan Kantor ATR-BPN bersama stafnya itu berlangsung hangat. Apalagi dalam sidang itu juga hadir perwakilan warga desa Wunga. Melalui Benyamin Meha Ratu, ditegaskan bahwa warga pernah melakukan keberatan dan protes. Selain itu juga mempertanyakan aparat desa dan warga desa mana dan siapa yang terlibat dalam proses lahirnya sertfikasi di seputaran Tanjung Sasar.
Ragam kekesalan dan keberatan yang diungkapkan oleh legislator, warga dan mahasiswa disikapi Eksam Sodak, kepala Kantor ATR/BPN setempat dengan lapang dada.
“Kami BPN ini istilahnya salib ada di bahu, bapa mau maki-maki kami, kita terima, tidak apa-apa,” tandasnya lalu kemudian sejenak hening. Setelah itu, masih dari tempat yang sama, Eksam menegaskan, keluarnya empat sertifikat yang juga dipersoalkan oleh warga dan mahasiswa, telah melalui tahapan dan sesuai aturan yang berlaku.
Tanjung Sasar sendiri merupakan kawasan yang secara turun temurun dikenal dan diketahui sebagian besar masyarakat Sumba sebagai tempat pertama nenek moyang mereka tiba, dan selanjutnya membangun peradabannya. Karena itu, banyak pihak menilai kawasan itu tidak bisa dimiliki oleh pribadi atau perseorangan karena punya nilai historis nan sakral. (ion)