Waingapu.Com – Jika ditempat lain kekeringan dan kemarau panjang diwarnai dengan aneka kisah miris dan probelamtikanya, tidak demikian halnya bagi sejumlah warga
khususnya para petani atau pembuat garam di Kampung Pamalala, Kelurahan Kemala Putih, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT. Kekeringan dan kemarau justru disambut senyum sumringah penuh sukacita terkait berkah yang membayang dipelupuk mata.
Musim kemarau dan kekeringan seperti sekarang ini dengan teriknya mentari justru dimanfaatkan untuk mengolah tanah dan air laut menjadi garam jauh lebih cepat dan banyak dari biasanya.
Pengolahan garam dengan cara konvensional dimana air laut ditumpahkan ke gundukan tanah kering dalam wadah yang disetting mirip mulut mesin penggilingan padi itu, kemudian tetesan atau rembesan air itulah yang diambil untuk dimasak menjadi garam.
”Kalau musim kemarau atau musim panas begini, kita lebih banyak waktu masak garam jadi lebih banyak pula pendapatan,” jelas Ariel (18) seorang anak yang nampak sibuk membantu mengambil air laut yang sedang pasang disekitar pemukiman itu pekan lalu.
“Kalau panas atau kemarau gini, kita lebih punya waktu banyak untuk kumpul tanah garam dan juga punya waktu lebih banyak untuk masak garam. Kalau garam sudah jadi nanti bisa dibeli para pengepul yang datang atau bisa kita jual langsung ke pasar,”jelas Mario Marthen Terinathe, yang kala itu juga ditemui sedang menyalakan api dan memberi cairan iodium di garam produksinya.
Lebih lanjut Mario yang juga pelestari tanaman dan hutan mangrove itu menjelaskan, harga garam produksinya berkisar Rp.150 ribu hingga Rp.200 ribu/zak(@50 kg). Yaa, selalu ada berkah dan hikmah dari setiap peristiwa. Kreatifitas dan keuletan bisa muncul kala tekanan mendera, selain bisa menjadi berkah bagi diri juga orang lain tergambar di kampung Pamalala ini.(ion)