Waingapu.Com – Tidak sedikit tenda duka dan liang lahat yang terbangun dan tergali dampak dari prahara yang dibawa oleh keganasan wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT. Balita dan anak-anak, bahkan orang dewasa menjadi korban keganasan prahara yang dihadirkan oleh sengatan Aedes Aegypty itu. Sepanjang tahun 2019 ini saja, data olahan media ini mencapai 17 jiwa menjadi tumbal prahara DBD, kegeraman yang berbaur dengan kecemasan sudah tentu mendera warga. Figur Viktor Bungtilu Laiskodat, penggerak yang tegas dan lugas yang nampak di awal-awal pengabdiannya sebagai Gubernur NTT, diharapkan bisa dihadirkan di Sumtim.
“Pemerintah dalam masalah ini harus lebih turun aktif ke masyarakat , peran mereka sebagai pemimpin sekaligus sebagai pelayan itu saatnya sekarang ditunjukan. Tidak bisa lagi DBD ini disikapi setiap ada korban baru bereaksi cepat – cepat fogging, tapi sosialisasi soal gejala dan tindakan cepat yang warga mesti lakukan jika orang dan wilayahnya terjangkit, minim dilakukan. Saya harapkan Gubernur NTT bisa berkantor disini, biar bisa pimpin langsung perang terhadap DBD. Ketegasan dan kelugasannya bisa menjadi penggerak warga dari ragam elemen,” harap Yohanis Umbu Maramba, pemuda di Kampung Marada, Kelurahan Maulumbi, kepada media ini di sela – sela peliputan dan pelayatan di keluarga Musa Mbala Ngandi, yang kehilangan Asnath Landu Tana, isteri tercintanya yang sedang hamil tujuh bulan oleh epidemi DBD, Sabtu (09/03) lalu itu.
Diuraikan Umbu Maramba, sejatinya tidak semua masyarakat itu paham apa itu DBD. Mulai dari pencegahan, gejala – gejala awal, juga langkah – langkah apa yang harus ditempuh jika kemudian ditemukan gejala di diri atau keluarganya yang terkena DBD. “Jangan ribut dan ramai di kota saja, sementara di tingkat kecamatan dan kelurahan hingga RT – RW seperti dingin – dingin saja. Harus ada penggerak yang cepat dan tegas,sosialisasi segala hal tentang DBD mulai dari pencegahan hingga penanggulangan. Masih banyak di kampung yang warganya jika sakit maka daun pepaya atau beli obat bebas, panas turun atau hilang senang, lalu tiba – tiba panas tinggi lagi dan saat dibawa ke Rumah sakit katanya terlambat. Karena itu wacana untuk hadirnya sosok Gubernur sangat saya dukung dan tentu warga lainpun demikian,” pungkas Umbu Maramba.
Suasana duka yang kental menggelayut di Marada saat itu, juga ditimpali dengan gerutuan beberapa warga terutama kaum ibu. “Kalau dari Lambanpu sana saja sudah berapa orang yang kena DBD dan juga meninggal. Lalu kemudian datang fogging, pulang tidak ada gerakan lanjutan. Himbauan ke tingkat RT RW tidak pernah ada, coba ada penyuluhan warga pasti hadir. Ini bukan anak-anak saja yang kena, sekrang orang dewasa juga bisa bahaya,” ungkap seorang ibu sembari melayani minum para tamu yang melayat.
“Malah kapan hari saya lihat ada satu dua tumpukan kertas di jalan, saya pikir mungkin stiker atau pamflet para caleg, saya pungut ternyata itu informasi tentang pencegahan dan langkah penanganan DBD. Ini tidak sampai langsung ke warga, tapi ketemu tanpa sengaja di jalan. Entah karena jatuh atau memang sengaja dibuang petugas,” urai seorang ibu sembari mengantar sirih pinang.
Harapan senada agar pimpinan wilayah dari tingkat propinsi hingga ke RT – RW juga sempat diungkapkan sejumlah warga yang ditemui hampir dalam setiap kesempatan liputan dan layatan pada korban-kobran DBD. “Harusnya pemerintah cepat tanggap terhadap kejadian yang sudah berulang-ulang ini. Kalau bisa solusi harus segera dicarikan dengan cepat, hingga duka yang kami rasakan ini tida sampai terjadi pada warga lainnya,” ungkap Agustinus Tonga Retang, Kakek Mario Aliando Umbu Takanjanji, balita berusia 3,7 tahun asal kampung Kaburu – Kallu, Kelurahan Prailiu, kecamatan Kambera, yang juga menjadi ‘tumbal’ ganasnya DBD, Selasa (05/03) lalu. (ion)