Waingapu.Com – Sumba Timur (Sumtim), sejak lama dikenal sebagai sentra tenun ikat tradisional ternama juga terbaik. Namun tak dapat pula disangkali, tingginya animo masyarakat lokal bahkan global terhadap produk warisan leluhur itu membuat sejumlah pengrajin tenun acapkali menepikan pewarnaan alami dan lebih memili pewarna kimiawi. Kondisi itu tak bisa disalahkan sepenuhnya karena mengikuti selera dan dinamika pasar. Kokoh dalam pendirian untuk menenun dengan bahan pewarna alami memang menjadi pilihan yang tak bisa ditawar bagi sebagian perajin, salah satunya adalah Kornelis Ndapakamang (43), yang tetap konsisten dengan proses pewarnaan alami.
Ditemui beberapa hari lalu di sanggarnya Paluanda Lama Hamu, yang tepat berada di sisi kediamannya, pria sederhana itu dengan ramah memberikan penjelasan terkait konsistensinya.
“Penenun boleh banyak, sanggar boleh bertumbuh, bagi saya itu hal positif buat melecut kreatifitas dalam persaingan. Bersaing sehat atas dasar kualitas akan sepenuhnya saya dukung. Saya dan keluarga serta seluruh perajin yang tergabung di sini sangat siap untuk diuji kualitas hasil tenun kami. Karena yang kami hasilkan adalah tenun ikat tradisional yang tidak mengenal dan sama sekali tidak menggunakan pewarna kimia. Untuk pewarnaan, saya tidak kenal kompromi, saya tetap menganut dan mengagungkan pewarnaan alami. Saya juga siap memberikan penjelasan pada pengunjung bagaimana cara untuk membedakan kain yang menggunakan pewarnaan alami dan yang gunakan pewarna kimia,” paparnya tegas.
Konsistensi lulusan SMA Katholik Andaluri, yang mengaku enggan untuk berkuliah walau sempat berangkat ke Kupang atas anjuran orang tuanya untuk mengenyam pendidikan tinggi itu, seiring waktu terus mendapatkan apresiasi dari pelbagai pihak.
“Saya pernah memberikan materi di Universitas Negeri Jakarta terkait tenun ikat Sumba Timur dan pewarna-pewarna alaminya. Juga beberapa kali sanggar ini menjadi tempat studi baik dari dalam maupun luar negeri. Saya terbuka untuk memberikan penjelasan seputar bahan-bahan pewarna alam, dan juga cara meramunya. Beberapa hari lalu saya baru dari Watublapi – Maumere untuk hadir dalam ajang yang digelar oleh WARLAMI. Di sana kami sesama perajin tenun saling berbagi informasi dan pengetahuan seputar pewarnaan alami,” urainya.
Adapun WARLAMI (Warna Alam Indonesia) demikian lanjut Kornelis, merupakan sebuah organisasi yang diketuai oleh Myra Widiono, mantan Sekjen Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional). Dalam pelbagai ajang sharing dan pameran yang diikutinya, Kornelis selalu mengenalkan bahan-bahan pewarna alami dari alam Sumba Timur seperti akar Mengkudu, Kunyit, Mangrove, Nila, dan sejumlah bahan pewarna alam lainnya.
Apresisasi pada keteguhan Kornelis dalam pelestarian tenun ikat dengan pewarnaan alami juga diperolehnya dari galeri Thread Of Life lewat Yayasan Pecinta Budaya Bebali, di Denpasar. “Setiap tahun saya diorder Thread Of Life 100 hingga 120 lembar kain tenun,” timpalnya.
Tak hanya itu, merk fashion ternama Hugo Boss, lewat perwakilannya di Jakarta telah mulai menjajaki kerja sama dengan sanggar pimpinannya.
“Sekarang ini kami dalam alur survey dari Hugo Boss. Mereka akan mengirimkan motifnya, dan kemudian kami akan kerjakan dengan cara tenun ikat tradisional khas Sumba Timur dengan teknik ikat lungsi, yang tentunya dengan pewarna alami. Selain itu mereka juga memesan ke kami benang-benang yang telah diberi pewarna alami juga bahan pewarna alami yang telah diolah oleh kami dalam bentuk pasta,” paparnya.
Proses tenun yang masih tradisional dan pewarnaan yang masih alami, menjadikan harga kain produknya bernilai tinggi. Untuk kain berukuran 1,20 meter misalnya, harga termurah yang dijualnya 1,5 juta rupiah.
“Siapapun boleh datang ke sini untuk melihat proses dan hasil tenun kami. Tanya-tanya harga juga kami akan terbuka, sekalipun nanti tidak membeli. Beri penjelasan terkait kerja kami dan konsistensi saya dalam pewarnaan alami saja saya sudah senang. Jadi harga yang oleh sebagian pengunjung kami dibilang mahal tetap kami terima dengan lapang hati, karena memang produk yang kami hasilkan bukan produk murahan dan harga yang kami patok adalah bentuk apresiasi kami yang tinggi pada warisan leluhur kami. Kalau kami sendiri sudah tidak menetapkan standar tinggi bagi karya kami, bagaimana orang lain? Satu dua orang boleh pergi dengan sedikit gerutuan harga kain kami mahal, namun kami yakin akan datang pula satu dua orang atau bahkan lebih yang mau menerima penjelasan kami dan memahami harga yang kami kemukakan pada kain-kain yang kami produksi,” jabar Kornelis.(ion)