Pengantar
Bulan ini kita masih berada pada masa sidang Laporan Keterangan PertanggungJawaban (LKPJ) Bupati akhir tahun anggaran 2016. Bagaimana dinamika persidangan antara legislatif dan eksekutif di dalam ruang sidang DPRD tidak banyak di antara kita yang mengetahuinya. Kecuali jika ada warga yang hadir dalam sidang-sidang paripurna yang terbuka untuk umum, maka mereka bisa mengamati “diskusi kritis” yang terjadi antara legislatif dan eksekutif ketika membahas setiap capaian kinerja pembangunan daerah di berbagai sektor.
Namun demikian, masyarakat awam tetap memiliki kesempatan untuk mengamati capaian kinerja pembangunan daerah melalui dokumen LKPJ. Dokumen tersebut merupakan dokumen publik yang bisa diakses dan dibaca oleh siapa saja yang memiliki perhatian. Selain cara itu, tentu melalui pengamatan langsung dilapangan. Penulis sendiri cukup rajin meluangkan kesempatan mengamati dan meneliti capaian-capaian pembangunan daerah melalui dokumen-dokumen yang ada maupun melalui pengamatan lapangan.
Tulisan ini merupakan hasil bacaan dan pemaknaanpenulis terhadap dokumen LKPJ Bupati TA 2016. Salah satu sektor yang menarik perhatian untuk dibahas adalah sektor pertanian (dalam arti luas, termasuk perkebunan, peternakan dan perikanan dan kelautan), khususnya berkaitan dengan indikator capaian.Mengapa memilih sektor ini? Alasannya; Pertama, sektor ini merupakan sektor dominan yang menggerakan perekonomian daerah. Meskipun kontribusinya cenderung menurun dari tahun ke tahun, namun masih tetap menjadi sektor dominan, +/- 27 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dikontribusi oleh sektor ini. Kedua, pada sektor ini pula mayoritas rumah tangga bekerja mempertahankan kehidupan mereka. Ketiga, secara umum sektor ini berada di wilayah pedesaan. Keempat, sektor ini berkaitan erat dengan misi pembangunan daerah 2016-2021 yang menitikberatkan pada upaya “mewujudkan peningkatan ekonomi wilayah yang tangguh dan mandiri berbasis pendapatan rumah tangga”. Kelima, secara langsung dan tidak langsung sektor ini merupakan salah satu komposit pembentuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Produktifitas sektor ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan setiap rumah tangga/individu yang bekerja di sektor ini memenuhi standar hidup layak.
Latarbelakang
Sebelum sampai pada pembahasan capaian kinerja sektor pertanian seperti tertuang dalam LKPJ 2016, penulis mengajak pembaca melihat potret capaian pembangunan daerah. Ini sebagai konteks untuk memahami kemana capaian kinerja sektor pertanian disasarkan. Indikator keberhasilan pembangunan yang paling umum digunakan secara nasional maupun internasional adalah dengan mengukur tingkat kesejahteraan penduduk yang dapat dilihat dari capaian IPM. IPM merupakan agregasi dari usia harapan hidup (kesehatan), lama usia sekolah (pendidikan) dan standar hidup layak (daya beli) menempatkan Kabupaten Sumba Timur pada urutan 5 (kelima) diantara 22 kabupaten/kota di Propinsi NTT (Sumba Timur dalam angka 2016). Hal ini merupakan sebuah capaian prestasi pembangunan yang perlu diapreasi. Sekadar menengok kebelakang dimana 3 tahun lalu posisi IPM Sumba Timur masih berada di urutan 18. Tetapi dengan penggunaan metode baru penghitungan IPM oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata terjadi reposisi peringkat capaian IPM. Merujuk pada reposisi tersebut, dapat diasumsikan bahwa dalam kurun waktu dua tahun terakhir terjadi pencapaian pembangunan yang significant (Sumba Timur dalam angka 2015) .
Namun, ketika mengurai agregasi komposit penyusun IPM secara terpisah, nampaknya perubahan paling significant hanya terjadi pada komposit pengeluaran per kapita yang mencapai Rp 8,8 juta (NTT dalam angka 2015), sementara dua komposit penyusunlainnya yaitu, usia harapan hidup dan lama usia sekolah tidak mengalami perubahan yang significant selama kurun waktu 5 tahun terakhir ini.
Tingginya pengeluaran per kapita sebagaimana disebutkan di atas, menempatkan Sumba Timur berada pada posisi kedua (2) setelah Kota Kupang pada posisi pertama (1) dalam konteks regional (NTT dalam angka, 2016) . Muncul pertanyaan, apakah tingginya pengeluaran per kapita menunjukkan membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat? Belum tentu, jika mengamati gap pengeluaran penduduk berdasarkan golongan pengeluaran per kapita/bulan, diperoleh gambaran masih banyak penduduk dengan pengeluaran per kapita/bulan berada dibawah Rp. 500.000 perbulanya itu mencapai +/- 49 persen (Sumba Timur dalam angka 2016). Rata-rata pengeluaran per kapita/bulan golongan ini dikisaran Rp 100.000-300.000. Tingginya jumlah penduduk dengan pengeluaran per kapita/bulan dibawah Rp. 500.000 memberi indikasi masih lebarnya gap (kesenjangan) antara penduduk yang mampu dan tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan hidup layak terutama berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan dasar.
Kesenjangan di antara penduduk sebagaimana disebutkan di atas dapat pula dilihat dari indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan memberikan pengertian semakin besar nilai indeksnya, semakin lebar gap kemiskinan dari garis kemiskinan yang ditetapkan. Saat ini garis kemiskinan yang ditetapkan sebesar Rp. 269.680. Sementara indeks keparahan memberikan pengertian semakin besar nilai indeksnya, semakin banyak jumlah penduduk dengan tingkat pengeluaran per kapita jauh dari garis kemiskinan. Di Kabupaten Sumba Timur, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan menunjukkan angka yang cukup tinggi masing-masing 5,35 dan 1,4, di antara kabupaten-kabupaten di NTT, sementara rata-rata NTT masing-masing hanya 4, 06 dan 1, 07 (NTT dalam angka, 2015). Angka ini menunjukkan meskipun Sumba Timur menempatkan diri sebagai Kabupaten di NTT dengan tingkat pengeluaran per kapita tertinggi, namun capaian tersebut belum merepresentasi kondisi umum tingkat kesejahteraan penduduknya. Kedua indeks kemiskinan ini justru mengonfirmasi masih tingginya kesenjangan sosial ekonomi di antara penduduk.
Kesenjangan sosial-ekonomi di antara penduduk ternyata beriringan pula dengan kesenjangan pembangunan antara wilayah. Hal ini dapat dilihat pada pendapatan regional di antara kecamatan-kecamatan di Sumba Timur. Pendapatan regional tertinggi dicapai oleh Kecamatan Kota yang mencapai Rp 11,7juta. Jika pendapatan regional di antara kecamatan-kecamatan dibandingkan, pada umumnya rata-rata berada pada kisaran Rp 7 – 8 juta atau hanya setengah lebih sedikit dari pendapatan regional Kecamatan Kota, kecuali Kecamatan Kambera yang sedikit lebih tinggi namun tetap berada di bawahKecamatan Kota, yaitu sebesar Rp 9,5 juta. Sementara itu, pendapatan regional Kabupaten Sumba Timur hanya mencapai Rp 8,2juta dibandingkan dengan pendapatan regional Kecamatan Kota maupun Kambera. Hal ini memberikan indikasi adanya kesenjangan antara wilayah, khususnya antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
Data-data di atas mengonfirmasi bahwa keberadaan jumlah penduduk miskin di Sumba Timur yang saat ini mencapai 28 persen atau 68,8 ribu jiwa (Sumba Timur dalam angka, 2015), bukan sekadar angka statistik yang mereprentasikan jumlah penduduk miskin, tetapi merepresentasi kemiskinan multi dimensi, antara lain kemiskinan wilayah dan kemiskinan sosial-ekonomi penduduk.
LKPJ 2016
Gambaran situasi di atas tentu cukup dipahami dengan baik para pengambil kebijakan dilingkungan eksekutif maupun legislatif. Oleh sebab itu pemerintah daerah merespon kondisi ini melalui sebuah rumusan konseptual misi untuk mengatasi masalah tersebut. Seperti tertuang dalam dokumen RPJMD 2016-2021, yaitu “mewujudkan peningkatan ekonomi wilayah yang tangguh dan mandiri berbasis pendapatan rumah tangga”. Sementara respon praksisnya bisa dilihat dari hadirnya sejumlah program kerja pemerintah daerah dari periode ke periode. Contoh pertama, program yang di desain berbasis “pendekatan pembangunanwilayah kecil”. Ciri khas program ini berupa penyediaan dana yang dapat dikelola langsung oleh desa. Program ini dikenal melalui pemberian alokasi dana desa (ADD) pada seluruh desa. Tetapi ada juga yang dilakukan secara adhoc, yaitu melalui desa Anggur Merah,yang kemudian program tersebut diadopsi Pemda Sumba Timur melalui desa SMART. Dalam perkembangan terkini pendekatan ini semakin gencar dilakukan melalui kebijakan dana desa.Contoh kedua, pendekatan pembangunan berbasis “pengembangan kelompok”. Salah satunya dikenal melalui program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) dan masih banyak berbagai jenis program lain dengan pendekatan yang sama. Bahkan dalam praktiknya terjadi saling tumpang-tindih penerima manfaat. Contoh ketiga, pendekatan pembangunan berbasis sektoral, pembangunan yang digerakkan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pendekatan yang melampaui kedua pendekatan di atas. Pendekatan cukup bertenaga (powerfull) karena didukung input yang besar dengan daya jangkau lintas wilayah (desa dan kecamatan) dan kelompok. Logika dibalik ketiga pendekatan ini ingin menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru skala kecil. Ketika wilayah-wilayah kecil mengalami pertumbuhan maka wilayah-wilayah sekitarnya akan terpengaruh. Pengaruh-pengaruh ini yang diharapkan membentuk interkoneksi antar wilayah. Yaitu interkoneksi yang digerakkan oleh adanya supply and demand antar wilayah maupun kelompok yang bertumbuh. Dampak dari pergerakan ini yang diharapkan memperkecil gap kesenjangan wilayah dan antara penduduk.
Bagaimana hasil (outcome) dari ketiga pendekatan di atas coba ditransformasi dalam ukuran-ukuran target dan capaian sektoral? Penulis kembali mengajak kita untuk kembali fokus pada sektor pertanian dengan beberapa alasan seperti dikemukakan pada bagian awal. Dalam dokumen LKPJ 2016, kita dapat melihat perkembangan (progress) capaian-capaian pada sektor pertanian antara target dan realisasi. Mulai dari tingkat persentasi realisasi terendah sebesar 35 persen dan tertinggi mencapai 300 persen (Buku III, LKPJ 2016). Namun ada hal yang menarik ketika capaian-capaian ini dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu tahun 2015 sebagai tahun dasar perbandingan. Pembaca akan menemukan bahwa pencapaian target kinerja tahun 2016 justru menurun dibanding tahun sebelumnya. Penulis mencoba mengambil beberapa kasus dimaksud. Pertama, Sektor peternakan, pada tahun 2015 populasi ternak sapi mencapai 50.700 ekor, target capaian tahun 2016 sebesar 44.122 ekor, namun realisasinya hanya 46.122 ekor. Populasi ternak kuda pada tahun 2015 mencapai 31.700 ekor, target capaian tahun 2016 sebesar 33.355 ekor namun realisasinya hanya 32.355 ekor. Populasi ternak kerbau pada tahun 2015 mencapai 39.779 ekor, target capaian tahun 2016 sebesar 39.756 ekor, namun realisasi hanya 38.756 ekor. Populasi ternak kambing pada tahun 2015 mencapai 56.953 ekor, target capaian tahun 2016 sebesar 53.924 ekor, namun realisasi 52.924 ekor. Populasi ternak babi merupakan satu-satunya target yang meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu dari jumlah populasi tahun 2015 sebesar 99.272 ekor, target capaian tahun 2016 sebesar 111.664 ekor dan realisasinya mencapai 106.664 ekor. Kedua, Sektor pertanian, pada tahun 2015 produksi padi sawah mencapai 41,34 kw/ha, target pemerintah 53,04 kw/ha, namun realisasinya 40,27 kw/ha. Padi ladang pada tahun 2015 mencapai 38,7 kw/ha, target capaian tahun 2016 sebesar 36,79 kw/ha, namun realisasinya mencapai 32,74 kw/ha. Produksi jagung pada tahun 2015 mencapai 35,36 kw/ha, target 2016 mencapai 45,68 kw/ha, namun realisasi 31,47 kw/ha. Produksi ubi jalar pada tahun 2015 mencapai 77,22 kw/ha, target capaian 92,22 kw/ha, namun realisasi hanya 69,82 kw/ha. Produksi ubi kayu merupakan satu-satunya yang meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu dari jumlah 109,9 kw/ha pada tahun 2015, target 2016 mencapai 124,19 kw/ha, realisasi mencapai 149,66 kw/ha. Ketiga, sektor perikanan, pada tahun 2015 produksi perikanan tangkap mencapai 12,159 ton, target capaian 11,711 ton, namun realisasi mencapai 11,921 ton.
Dari ketiga kasus di atas , sepertinya pemerintah daerah memasang target lebih rendah dari capaian tahun sebelumnya. Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah penyusunan target dilakukan tanpa melihat jejak tahun sebelumnya? Rasanya tidak mungkin karena sistem yang dipakai mengukur indikator target dan capaian di pemerintahan sudah sedemikian canggih. Pertanyaan lain, apakah pemerintah memasang target yang lebih rendah agar nampak progress capaian tersebut? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin saja muncul dalam dinamika “diskusi kritis” antara legislatif dan eksekutif dalam ruang sidang DPRD atau nampak dalam laporan pandangan fraksi-fraksi.
Penurunan produksi sektor pertanian secara mayoritas yang terjadi pada tahun 2016 tentunya berpengaruh terhadap pencapaian misi pembangunan daerah, yaitu mewujudkan peningkatan ekonomi wilayah yang tangguh dan mandiri berbasis pendapatan rumah tangga. Sektor pertanian sebagai sektor yang diharapkan berkontribusi memperkecil gap kesenjangan sosial ekonomi wilayah dan penduduk, nampaknya akan semakin berat mengejar dan memenuhi target pembangunan daerah. Menurunnya target capaian pada sektor ini akan mempengaruhi upaya perbaikan nilai IPM secara berkelanjutan.
Oleh sebab itu, perlu ditemukan dimana letak akar masalahnya? Apakah sektor ini mengalami kejenuhan sehingga produktifitasnya tidak optimal atau tata kelola yang buruk, mulai dari aspek perencanaan, penerapan sampai pada monitoring dan evaluasinya? Kegagalan menemukan akar masalah sama dengan memelihara kesejangan sosial ekonomi wilayah dan antar penduduk secara berkelanjutan.[*]
Penulis:
Stepanus Makambombu, Direktur Stimulant Institute Sumba, Wakil Ketua Komisi Bidang IPTEK dan Lingkungan Hidup Dewan Riset Daerah Kab Sumba Timur.