Dalam setiap sisi kehidupan manusia, Kaum Perempuan selalu dipersepsikan menjadi yang terbelakang. Namun, dibalik selalu terbelakangnya kaum perempuan, banyak juga kaum perempuan yang menjadi motor penggerak dalam sebuah kehidupan sosial. Terhitung sangat kecil, tapi gerakan mampu merubah situasi.
Sejak masa primitif dimana ketika manusia mengenal istilah berburu dan meramu. Istilah pembagian tugas antara Laki-laki dan Perempuan mulai dikenal. Di Masa tersebut, kaum laki-laki mempunyai tugas untuk mencari makan dengan cara berburu, karena dianggap mampu mempunyai kekuatan untuk berlari mengejar hasil buruan. Sedangkan kaum perempuan harus tetap tinggal di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena tidak mempunyai kemampuan untuk berburu. Kaum perempuan mempunyai tugas untuk meramu (berkebun).
Hingga memasuki massa dimana manusia mengenal kelompok dan membentuk satu klan, pembagian tugas ini terus dipiara karena dirasakan cukup efektif karena membagi peran dalam meningkatkan ekonomi masyarakat pada massa tersebut. Situasi ini terus berjalan hingga dimana manusia mengenal istilah Patriarki dan Matriarki. Dimana Patriarki merupakan sebuah konsep manusia yang memberikan otoritas pada kaum laki-laki. Sedangkan Matriarki adalah sebuah konsep tentang otoritas berdasarkan kaum perempuan.
Kedua konsep tersebut akhirnya pun membudaya, yang pada akhirnya konsep Patriarki banyak digunakan oleh Negara-Negara di Dunia, termasuk Indonesia. Di banyak daerah di Indonesia buadaya Patriarki pun banyak diadopsi, tak ketinggalan masyarakat Sumba.
Dalam budaya Sumba konsep patriarki memang sangat kuat. Itu dapat di liat dari pembagian tugas antara Kaum Laki-laki Sumba dengan kaum Perempuan Sumba maka yang lebih dominan adalah Kaum Laki-laki. Dalam setiap pengambilan keputusan penting dalam keluarga maupun kehidupan sosial Laki-laki selalu menjadi penentunya.
Keadaan ini terus berjalan tanpa ada kendali. Kaum perempuan Sumba belum banyak yang memahami apa yang disebut kaum femenis modern yaitu “Kesetaraan Gender”. Perempuan Sumba masih terlelap dalam bungkusan informasi yang tertutup. Sehingga untuk sekedar tahu pun masih dapat dihitung dengan jari.
Situasi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sejarah kelam terpinggirkannya kaum perempuan lantas tidak menjadi alasan bagi kaum perempuan untuk tetap diam. Harus dibangun kesadaran kolektif bagi kaum perempuan Sumba dalam memahami perannya. Kemampuan perempuan Sumba dalam memahami perannya akan sangat berdampak pada perubahan Sumba yang lebih baik dan dinamis. Perempuan Sumba tidak boleh tetap terkungkung pada feodalisme yang sebenarnya menindas mereka.
Maraknya perampasan ruang hidup orang sumba yang dilakukan para kapital dan pengusaha harus menjadi renungan bagi Perempuan Sumba. Usaha mempertahankan ruang hidup bukanlah tugas semata Kaum Laki-laki. Ketangguhan dan keperkasaan tidak menjadi alasan bagi kaum perempuan untuk tetap berlindung di balik laki-laki. Karena pada dasarnya perampasan ruang hidup yang dilakukan para kapital dan penguasa, kaum perempuan lah yang merasakan dampaknya paling pertama.
Ketika para kapital melakukan monopoli sumber air, maka yang merasakannya adalah kaum perempuan, karena kaum perempuanlah yang paling tahu ketersedian air dalam keluarga. Ketika sumber makan mulai berkurang karena hilangnya lahan garapan, maka kaum perempuan lah yang merasakannya. Karena yang paling paham soal berasap dan tidaknya dapur adalah perempuan. Ketika kebutuhan sumber makan ternak mulai berkurang, maka kaum perempuanlah yang gelisah.
Kebangkitan dan pergerakan perempuan Sumba sangat diharapkan terjadi. Karena kaum perempuan akan menjadi tumpuan Sumba. Perubahan Sumba ada di tangan kaum perempuan. Jika perempuan Sumba terus diam dan tetap menggantungkan harapan pada kaum laki-laki maka usaha mempertahankan ruang hidup akan semakin sulit.
Kebangkitan perempuan di Indonesia ada sangat banyak dan beragam. Gerakan kaum perempuan mampu merubah arah pemabngunan suatu daerah. Gerakan perempuan Desa Penago Baru Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu dalam usaha menolak Tambang pasir besi merupakan contoh nyata bahwa kaum perempuan mampu melakukannya.
Gerakan perempuan molo yang di gawangi Mama Aleta Baun dalam usaha mengusir tambang marmer di Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan contoh nyata bagi Kaum perempuan NTT tidak berbeda dengan kaum Perempuan lainnya di Indonesia.
Berbagai contoh gerakan perempuan di Seluma, Molo dan beberapa daerah jawa seperti Kendeng dan Banyuwangi harus menjadi contoh bagi kaum perempuan Sumba dalam usaha membangun gerakan. Penindasan yang dilakukan oleh para kapital harus menjadi renungan kolektif antara kaum laki-laki Sumba dan kaum perempuan Sumba.
Perempuan Sumba harus berani tampil menyuarakan ketidakadilan yang didapatkan. Ketidakadilan yang sengaja diciptakan para kapital dan pengusaha. Perampasan ruang hidup yang terus berlangsung dan akan terus berlangsung harus dihentikan oleh semua insan tak ketinggalan kaum perempuan Sumba.
Perempuan Sumba jangan terus tinggal diam dalam ketidakberdayaannya, karena akan menjadi makanan empuk bagi para kapital dan penguasa untuk melakukan penipuan yang tidak manusiawi. Perempuan Sumba adalah Kaum bermartabat yang hak-haknya tidak di langgar begitu saja.
Kegigihan dan ketekunan perempuan Sumba dalam menenun selembar kain, juga harus di wujud nyatakan dalam usaha mempertahankan martabat kaum perempuan dan anak cucunya.[*]
Penulis: Petrus Ndamung Ng. Koordinator Divisi WKR, Walhi NTT.