Waingapu.Com – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT mengingatkan pemerintah dalam mengambil keputusan dan kebijakan pembangunan hendaknya bersahabat atau mengedepankan keberpihakan ppada nelayan. Hal itu sebagai salah satu dari sejumlha point rekomendasi yang dikeluarkan lembaga pemerhati lingkungan itu dalam kaitan dengan Hari Nelayan Nasional.
Dalam rilisnya yang diterima media ini, Deddy Febrianto Holo selaku Koordinator Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan WALHI NTT , Rabu (06/04/2022) lalu juga memaparkan sejumlah rekomendasi lainnya. Rekomendasi itu diharapkan bisa menjadi perhatian pemerintah dan sejumlha elemen lainnya di NTT. Mengingat sebut dia dengan mengutip mongobay.co.id, NTT memilki luasan laut sekitar 200.000 Km2. Dimana lautan NTT merupakan rumah bagi 500 jenis terumbu karang, 300 jenis ikan dan tiga jenis kura-kura.
“Sumber daya utama andalan dari nelayan di NTT adalah perikanan, rumput laut dan garam. Dengan keanekaragaman laut yang ada d tentu saja merupakan aset penting dalam mendukung pembangunan di sektor perikanan dan kelautan Indonesia. Namun, ini tidak semudah yang kita bayangkan bersama. Ada begitu banyak persoalan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia termasuk NTT mengalami dampak buruk dari adanya perubahan iklim saat ini,”paparnya.
Merujuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, urai Dedy lebih jauh, pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, nelayan tradisional adalah nelayan melakukan penangkapan ikan di perairan yang merupakan hak perikanan tradisonal yang telah dimanfaatkan secara turun temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal. Tak hanya itu, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Berbagai produk hukum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah secara umum memuat bagaimana perlunya menjaga ekosistem di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai salah satu fungsi konservasi guna mengatasi dampak perubahan iklim.
“Kasus nelayan di Labuan Bajo dimana nelayan kecil harus berhadapan dengan kebijakan pembangunan resort premium di wilayah pesisir yang berdampak hilangnya dan terganggunya wilayah konservasi dan ruang wilayah kelola nelayan. Juga terjadi di pulau Sumba, hampir 80 persen wilayah pesisir di alih fungsikan untuk kepentigan pariwisata. Bahkan temuan WALHI NTT menunjukan adanya kriminalisasi nelayan, seperti yang terjadi di di pesisir pantai Aili, kabupaten Sumba Tengah,”urainya.
Sejauh ini, lanjut Deddy adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi permasalahan perubahan iklim masih pada pola yang sifatnya reaktif. Hal ini dikarenakan nelayan tradisional di NTT relativ terbatas mendapatkan akses informasi sehingga bentuk adpatasi yang lebih antisipatif belum berjalan baik.
Selain kebijakan dan keputusan dalam kaitan dengan pembangunan yang ditetpkan pemerintah harus berpihak pada nelayan, WALHI NTT juga merekomendasikan pemerintah untuk memastikan sistem informasi adaptasi dan mitigasi di wilayah pesisir terutama di kelompok nelayan agar berjalan dengan baik dan bekelanjutan. Juga perlu menelaah kembali kebijakan pembangunan industry pariwisata di wilayah – wilayah pesisir, pulau – pulau kecil yang mengabaikan keselamatan warga dan daya dukung lingkungan hidup. Selain itu perlu memberikan pelatihan dan penguatan kapasitas sumber daya manusia bagi warga dan nelayan di wilayah pesisir dalam menghadapi permasalah perubahan iklim serta dampaknya, memastikan keberlanjutan dan pelestarian kawasan Mangrove di wilayah pesisi.
Hal lainnya yang juga penting untuk diperhatikan pemerintah, imbuh deddy adalah keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan Rencana Aksi Daerah Adapatasi Perubahan Iklim (RAD-API ) dengan melibatkan masyarakat dan nelayan. Pengetahuan lokal masyarakat dalam adptasi dan mitigasi perubahan iklim perlu diperkuat kembali oleh pemerintah di NTT lewat berbagai kegiatan atau pelatihan yang berbasis pada nilai dan kearifan lokal. Ketegasan menjalankan amanah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, juga menjalankan amanah Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. (wyn/ion)