Trotoar dalam penggunaannya adalah hal mutlak bagi para pejalan kaki. Demikian pula halnya trotoar yang ada di seputaran kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, NTT. Namun di sini, saya ingin secara khusus menceritakan secara sedikit spesifik tentang trotoar sepanjang jalan dari Karinding, tepatnya sebuah rumah petak di depan asrama Polres Sumba Timur hingga ke kompleks SMA Anda Luri.
Mengapa trotoar itu saya kedepankan? Pasalnya dari trotoar itu saya bisa sedikit menggali dan menemukan kesan dibalik sosok Frans Wora Hebi (FWH). Sosok salah satu guru favorit saya dari sedikit guru favorit saya kala menimba ilmu di almamater tercinta saya SMA Katholik Andaluri. Sosok yang menurut saya sangat rendah hati dan tidak sungkan untuk berbagi haknya sekalipun kadang harus terpinggirkan atau meminggirkan diri.
Yaaa, trotoar Karinding-Andaluri jalur wajibnya saat pulang dan pergi menjalankan akfitas kesehariannya sebagai guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jerman, di SMA Katholik Anda Luri sekira tahun 1991-1994 silam jadi saksi bisu keramahan, kerendahan hati, dan rela tuk berbagai dari sosok FWH.
Berjalan di trotoar adalah haknya sebagai pejalan kaki, namun itupun dia lakukan ditepian trotoar, bahkan acapkali saya mendapati FWH rela untuk menghentikan langkahnya kala berpapasan, atau kala lebar trotoar terasa tak cukup untuk menampung pejalan kaki yang beberapa kali berjalan sejajar.
Saat mentari tak terlampau menyengat hingga mentari menebarkan sengatannya, langkah FWH di trotoar tetap tak berubah. Hal kecil yang sejatinya saya pandang bisa memberikan gambaran eksistensinya menggeluti dunianya, baik sebagai seorang guru/pengajar maupun sebagai pelaku dunia jurnalistik di Pulau Sumba.
FWH, tidak lagi saya bersua sesering saat menjadi muridnya silam, namun dalam setiap kesempatan bersua dengannya, tetap saya menempatkannya sebagai guru bahkan maestro saya dalam merangkai kata-kata menjadi kalimat, hingga kalimat menjadi rangkaian alinea-alinea dari tulisan maupun berita-berita yang saya buatkan sehubungan dengan profesi saya sebagai jurnalis.
Sang Guru yang bagi saya dan mungkin beberapa rekan seprofesi bersepakat dengan stempel saya bagi FWH sebagai ‘Ensiklopedia Bernadi’, merujuk nadi sebagai salah satu tanda untuk mendeteksi adanya kehidupan. FWH terlampau layak untuk tetap saya jadikan Guru, sekalipun hingga kini justru dalam kesempatan pertemuan dengannya selalu berharap saya untuk menempatkan dirinya sebagai rekan senasib sepenanggungan dalam menggeluti dunia jurnalistik dan segala tantangannya.
Sejatinya banyak hal yang sekiranya pantas untuk menggambarkan sosok FWH. Namun sayangnya, kata dan kalimat yang saya miliki masih hanya bisa mengisi dua atau tiga helai lembaran kertas yang belum jua penuh terisi, dari sebuah notes kecil yang tiada tanding dan tiada banding jika disandingkan dengan sebuah Ensiklopedia.
Apa yang saya tuliskan kali ini adalah sebagian dari ekspresi dan apresiasi saya bagi sosok FWH, yang Sabtu (15/07) kemarin melaunching buku ‘Sebuah Autobiografi – Jejak Langkah Frans W. Hebi – Wartawan Pertama Sumba’ di aula SMAK Anda Luri. Apresiasi yang hanya bisa saya katakan dengan menuliskan kata dan kalimat dibalik memberikan testimoni secara langsung dalam acara yang sederhana namun tetap meriah itu.
Selamat, sehat dan terberkati Tuhan selalu Guru, tetap rendah hati dan semangat. Nanti kapan-kapan jika waktu berkenan, kita bisa memancing bersama, asalkan jangan di sungai yang kental dengan berita dan kisah buayanya.(ion)