CINTA YANG BERSEMI DI BUALA HAPPA

oleh
oleh
Sepritus Tangaru Mahamu

Tanpa kita sadari kita terus berjejak dalan liukan putaran waktu yang membawa kita jauh berjejak dalam kuyub keringat yang menyengat malam-malam rambu yang sibuk meramu wuara (nila) dan kombu (mengkudu). Oh, sepertinya tidak lagi kita lebih suka pada penawaran instan dan praktis yang ditawarkan pewarna pabrik mungkin juga dikarenakan wuara menjadi komoditas yang mengganggu sehingga tidak jarang dibasmi dan sebagian besar lainnya ikut terbakar bersama hamparan savana yang selalu menyisakan abu untuk disesali disamping eksploitasi akar mengkudu tanpa perhitungan serta tidak adanya pembudidayaan khusus.

Ketika ada yang berbicara tentang indahnya kebudayaan Sumba dan itu tidak lain adalah pemuda Sumba sendiri maka saya menyimpulkan bahwa telah terjadi miskomunikasi antar generasi di Sumba. Sebagai contoh kongkrit coba perhatikan penenun yang ada di sekitar kita adalah wanita berumur 30-40 tahun dengan tenunan praktis dan motif sesuai pesanan sedangkan yang bertahan pada motif sesuai filosofi tinggal tersisa sedikit dan dapat dihitung dengan jari dengan uban yang mulai ramai di kepala mungkin karena sibuk berpikir untuk memperoleh wuara dan kombu, lalu kemana generasi millenium kita? Mungkinkah mereka sedang sibuk mengupdate status FB, BBM, dan Whats App, atau mereka masih di sekolah?

Baca Juga:  Arisan Pendidikan, Solusi Reformasi Budaya Sumba

Membingungkan memang ketika melihat realita bahwa kebudayaan yang menjadi kebanggaan setiap daerah mulai luntur dan sebagai generasi kita hanya berhenti dan merasa sudah mencintai kebudayaan ini pada sebuah status ‘prihatin’ yang selalu berhasil kita sandingkan dengan gambar diri pada jejak-jejak sejarah yang melegenda dengan caption yang didominasi hasil plagiat, dan akhirnya menjadi kaget ketika ada statement “Sumba adalah pulau perempuan”.

Hey, kemana saja kalian mari coba menyimak cerita yang coba kurangkum dari sebuah temu seni perempuan dan perdamaian baru-baru ini bahwa sebenarnya sebelum menjadi sumba awalnya pulau kita ini pernah menyandang nama; Siombo, Sabawa, Suban, Zuba, Sandlawood iland, Sandlewood island, Pulau cendana, Humba, lalu menjadi Sumba karena dialek H biasanya menjadi S.

Jika kita menilik kebelakang sesuai cerita asal usul Sumba sesungguhnya adalah bahwa manusia yang tercipta ada delapan orang berpasangan dari Malaka Tanabara yang berpencar kemudian melewati banyak daerah dan satu orang bernama Hararap Wolu Mandoku sampai ke Haharu Malai (tanjung sasar) dengan istri tercintanya yang selalu menggetarkan hati “Ai Napabarangu Eti Ndummu” melalui senyum merona di bibir merahnya yang bukan hasil pergulatannya dengan lipstik tapi dengan budayanya. Humba menurut bapak Joni Dailo mengandung arti asli, polos, tulus, dan murni dimana penjamarannya Humba memiliki Buala Happa yang khas dan asli, polosnya senyuman yang tulus selalu menyentuh batiniah yang merangsang sebuah cinta yang murni.

Baca Juga:  Jalan Panjang & Mimpi ‘Sandalwood’ Tersanding di Gunung Meja

Lalu disisi lain menurut ibu Veronika Beka Mayorga, Humba adalah sebuah bentuk pesan perdamaian melalui budaya yang menyelaraskan artinya mengandung pesan keseimbangan antara perempuan dan laki-laki yang termuat dalam filosofi kain tenun Sumba yang syarat pesan spiritual dan universal.

Menurut hemat penulis, hari ini kita sebenarnya berada dalam garis gradasi budaya dan mulai kehilangan makna bahwa kita menjadi penjiblak asing dan sibuk melawan budaya asing yang tetap merasuk masuk kedalam pikiran kita dan mindset, inilah yang perlu kita rubah. Kita sebenarnya tidak perlu menjadi xenophobia melainkan pelu melakukan penguatan budaya kita sendiri agar tidak digoyahkan budaya luar.

Fakta dilapangan menunjukkan bahwa komunikasi atar generasi di Sumba memang gagal dimana hari ini anak-anak muda merasa bahwa happa menjadi hal menjijikan, tersenyum sambil menyodorkan buala pahappa kosong sebagai simbol li patembbi menjadi hal memalukan dan lebih memilih menyodorkan toples-toples berisi kancang impor. Hari ini menenun bukan tentang nilai sebuah budaya tapi media yqng menghasilkan rupiah dan sibuk menjadi wisatawan yang membuang sampah di sembarang bukit, pantai, dan air terjun.

Baca Juga:  Perempuan Sumba Harus Bangkit

Mari kita kembalikan cinta pada buala pahappa Rambu Humba dan Umbu Wollu Mandoku dengan mencari kembali buala pahappa yang lama mengurung dirinya diruang-ruang tersembunyi serta mengatakan saya Sumba bukan Sumbawa dan menjelaskan bahwa memang kami mengerti, kenapa kalian menganggap kami Sumbawa? Karena pernah ada relasi dengan kekuasaan Bima dan Majapahit yang terjermin dalam kalimat “hanggula ratu njawa hangaji ratu ndimma” dan mengerti arti budaya kenapa bisa ada Umbu Ndimma, Umbu Njawa dan Umbu Majapalit sehingga kita membela bukan berdasrkan asumsi tapi karena kita benar-benar mengerti nilai budaya dan memiliki kekuatan sejarah.

“Cara menjelaskan indentitas diri kepada asing tidak cukup hanya dengan logika berasumsi tapi dengan mengerti nilai budaya dan sejarah yang ada dalam diri yang tidak tergali”.

Selamat mencari cinta dalam buala pahappa, saya rindu gadis Humba yang menggetarkan hati melalui buala pahappa bukan yang menjadikan budaya agar memperoleh popularitas dan menggeser makna sesungguhnya.[*]

Penulis: Sepritus Tangaru Mahamu, Anggota komunitas BEDA dan pembina Ana Tana Community di Kawangu, Mahasiswa PDD Sumba Timur.

Komentar