Sebelum menulis catatan pertama dari penghargaan Wai Humba 2017 kali ini, saya mencoba untuk membuka file lama periode 2010 hingga 2012 yang tersimpan di laptop. Saya mencoba untuk menemukan sebuah foto yang bisa menceritakan tentang pria itu saat ada di jalanan depan Pengadilan Negeri Waikabubak. Saat dia mengobarkan semangat perjuangan sekaligus menyatakan kegusarannya pada ketidakadilan. Namun saya tidak menemukannya, kecuali beberapa foto saat beliau berorasi dalam acara penjemputan tiga Umbu (Umbu Mehang, Umbu Djanji, Umbu Pindingara) di Lapas Waikabubak.
Syukurlah saya masih juga punya dokumentasi video di depan Lapas saat beliau, Kak Deby Rambu Kasuatu, Kak Amos Siwa Wunu memimpin teman-teman untuk membacakan semacam pengakuan iman rasuli. Saya kutip salah satu kalimatnya, “AKU PERCAYA KEPADA IMAN KRISTIANI YANG TEGUH BERPIHAK PADA KAUM TERTINDIH”.
Memori saya belum hilang untuk sekadar mengingat seorang yang rela “terjerat” pada pandangan miring. Pandangan umum di zona nyaman, seorang pemuka agama apalagi Pastor atau Pendeta tempatnya di mimbar, bukan di jalanan berteriak layaknya aktivis atau orang-orang yang merasa jadi korban. Dia mempertaruhkan dan menanggungnya.
Saya juga masih ingat saat kondisi tubuhnya tengah sakit, dia tetap hadir di setiap persidangan. Dia juga selalu menemui dan memberi penguatan pada istri-istri dari tiga Umbu. Baik di pengadilan maupun di Kampung di Pahomba, Pungguwacu dan Paponggu. Setiap berangkat dari Waitabula ke Waikabubak, begitupun saat pulang, beliau selalu menggunakan sepeda motor GL-nya. Kalau hujan, mantel hujan berwarna coklat muda keemasan dan warna perak selalu menemani.
Namanya Pater Mikael M. Keraf. Seorang Pastor asal Lembata, NTT yang akrab disapa Pater Mike. Pada Festival Wai Humba VI ini, kami (Wai Humba) memberinya penghargaan Wai Humba sekalipun beliau sendiri adalah salah satu aktor mula-mula yang merintis Festival Wai Humba. Namun kami sebagai putra-putri Humba diberkati untuk mengetahui nilai dari ungkapan Kuta Angu Lulu, Winu Angu Helu. Secara harafiah ungkapan diatas kurang lebihnya adalah Sirih sesama tangkai/sirih-sirih setangkai, inang dalam kumpulan beserta mayangnya (lihat buah sirih dan pinang di pohonnya) secara filosofis istilah ini didapati diujarkan dalam acara adat kehidupan dan kematian di Humba khususnya di Sumba bagian Timur salah satunya pengertiannya adalah untuk seseorang atau kelompok orang yang bukan saudara/keluarga (bisa dalam pengertian darah daging) namun selalu bersama dalam membantu dan berjuang bersama dalam kehidupan di keluarga tersebut.
Ungkapan penghargaan ini tidak diumbar begitu saja alias bukan basa-basi diujarkan oleh sebuah keluarga kepada orang lain. Biasanya keluarga tersebut sudah tahu betul bahwa orang tersebut memang membantu dengan tulus dan biasanya teruji dalam waktu yang sudah cukup lama saat saling menopang. Keluarga tersebut tahu bahwa dalam suka-duka perjuangan hidup keluarga tersebut, orang atau sekelompok orang tersebut selalu ada menemani.
Kuta Angu Lulu, Winu Angu Helu yang ditujukan kepada Pater Mike bagi kami anak-anak Humba amat pantas. Istimewanya, sependek pengalaman saya hidup di Sumba, “orang luar” biasanya membantu pada hal-hal yang sifatnya karitatif atau development. Misalnya bantuan yang sifatnya ekonomi atau jasa tertentu. Tanpa bermaksud menafikan jasa “orang luar” lainnya di tanah Sumba, kebanyakan cenderung menghindarkan diri dari sesuatu yang berpotensi menimbulkan konfrontasi apalagi menegaskan diri dengan melawan kebijakan pemerintah yang menimbulkan kerusakan alam. Pater Mike salah satu yang berbeda. Keberadaannya dalam proses tolak tambang di Sumba tentu memberi energi lebih pada perjuangan waktu itu.
Sebagai Orang Humba yang kukuh pada nilai Na Tana Beri Inamunya -Tanah Ibarat Ibumu-, kami menolak penjarahan atas tanah Humba, Pengrusakan pada alam Humba, Penghancuran pada nilai-nilai Marapu. Kami merasa bersyukur punya teman seperjuangan beliau yang setia menemani proses perjuangan melawan industri pertambangan yang berpotensi menghancurkan sumber kehidupan dan penghidupan Orang Humba di Wanggameti, di Tanadaru dan Yawilla.
Mengapa menceritakan tentang Pater Mike dan Penghargaan Wai Humba? Saya merasa punya kewajiban pada moral yang saya yakini, saya meminta ijin pada “kami”; saya harus ceritakan dan berharap ada banyak orang Humba yang tahu ini dan semoga ikut serta mempertahankan tanah tanah dan budaya mereka dari proses penjarahan serta pemusnahan. Akhirnya, Da Zuba Da Ga Sagage Mod’ Da Damo, Nda Humba Li La Mohu Akama. Kami Bukan Humba Yang menuju Kemusnahan. TOLAK TAMBANG MINERBA DI TANAH SUMBA! MARINGINA!
Terimakasih Pater Mike,
“AKU PERCAYA KEPADA IMAN KRISTIANI YANG TEGUH BERPIHAK PADA KAUM TERTINDIH”
Penulis: Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi (Aktivis Lingkungan – Dinamisator Festival Wai Humba)