Luka Batin Anak Korban Konflik

oleh
oleh

Darwin pernah berujar, bahwa manusia yang ada di saat ini adalah mereka yang telah berhasil melewati seleksi alam. Karena manusia membutuhkan pertolongan orang lain untuk hidup, maka manusia yang bertahan adalah mereka yang baik atau penolong (altruis). Namun sayang teori ini masih belumberlaku sama rata di dunia. Konflik Israel-Palestina yang kembali memanas Juli ini memperlihatkan betapa sifat kekerasan masih bertahan melewati proses evolusi manusia. Sifat yang akan terus diwariskan melalui luka batin anak-anak yang menyaksikan langsung proses pertikaian berdarah tersebut.

Data harian Kompas tanggal 31 Juli menyebutkan, sejak Israel meluncurkan ‘Operation Protective Edge’ pada 8 Juli 2014, lebih dari 1300 orang Palestina telah mati terbunuh dan sekitar banyak dari mereka merupakan anak-anak.Selanjutnya PBB menyebutkan bahwa sekitar 25.000 anak membutuhkan dukungan psiko-sosial setelah melihat dengan mata kepala mereka sendiri kematian demi kematian dan/atau hancurnya rumah-rumah serta sekolah-sekolah.

Sementara, kelompok militan di Gaza terus meluncurkan serangan rudal mereka ke Israel. Serangan yang dilancarkan dari area padat penduduk ini, mengundang serangan balik ke lokasi yang sama, yang berbuntut pada penyalahgunaan nyawa dari penduduk sipil termasuk anak-anak Gaza. Terlepas dari alasan apapun, penyerangan yang berisiko membunuh orang-orang tidak bersalah, terutama kaum perempuan dan anak-anak, merupakan hal yang terkutuk dan tidak semestinya terjadi dalam peradaban manusia saat ini.

Baca Juga:  FP2ST: “Sudah Saatnya Para Kandidat Peduli Isu Lingkungan”

Konflik horizontal yang melibatkan anak-anak akan berdampak sangat buruk pada perkembangan kelompok yang terlibat konflik. Kehilangan akibat kerusakan kondisi infrastruktur tidak akan menandingi kehilangan akibat kerusakan mental serta psikologis yang dialami anak-anak. Anak-anak yang terlibat dalam konflik berpotensi mengalami sejumlah gangguan seperti trauma psikologis (post traumatic stress disorder), kemampuan belajar yang menurun, sampai perilaku agresif dan antisosial yang bisa berbuntut kepada lahirnya militan muda yang didasari motivasi balas dendam.

Selanjutnya, perilaku abnormal anak korban konflikbukan saja bisa langsung muncul sesaat pasca konflik berlangsung, perilaku ini dapat bertahan lama dan mengakar seiring pertumbuhan anak menuju ke dewasa. Penelitian tim dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada kepada anak-anak korban konflik Sambas dan Sampit membuktikan hal ini. Setelah 5 tahun berlalu pasca konflik, anak-anak korban konflik diminta untuk menggambar dengan tema bebas pada sebuah kertas gambar kosong. Banyak anak yang memilih menggambar rumah terbakar, kepala terputus sebagai trofi perang, serta berbagai simbol konflik lain.Eksperimen sederhana ini merefleksikan ketidaksadaran kolektif anak-anak yang agresif dan destruktif sebagai akibat dari pengalaman anak tersebut di dalam konflik.

Baca Juga:  Implementasi Kebudayaan Ende Lio di Universitas PGRI Kanjuruhan Malang

Mengingat luka batin yang bersifat awet dan susah dilupakan tersebut, langkah jangka panjang pemulihan batin anak korban konflik yang harus dilakukan untuk mengatasinya menjadi hal yang tidak sepele. Proses ini memakan sumber daya dan waktu yang tidak sedikit. Contoh nyata di negeri kita misalnya Gerakan Baku Bae di Maluku. Gerakan ini terinspirasi dari perilaku anak-anak Maluku yang saling menempelkan jari masing-masing dan berkata “baku bae” yang berarti saling berbaikan (Malik, 2009).Aktivitas gerakan ini melibatkan jerih payah kalangan cendekiawan, pemimpin lokal, pemuka agama, lembaga bantuan hukum, LSM serta pemerintah. Anak-anak antar agama dilibatkan dalam kegiatan partisipatifyang bertujuan untuk membangun interaksi positif dan konstruktif. Gerakan ini berlangsung bertahun-tahun untuk memastikan situasi kondusif terus terjaga untuk mendampingi perkembangan anak korban konflik.

Satu lagi contohupaya pemulihan luka batin anak korban konflik yang panjang dan melelahkan bisa kita lihat dari Poso. Sekolah-sekolah di sana didukung oleh para pemangku kepentingan untuk mengembangkan pendidikan karakter berbasis pluralisme. Model pendidikan ini bertujuan untuk membantu penyembuhan mental siswa sekaligus pencegahan potensi konflik masa depan.Anak-anak yang berbeda etnis dan agama di Poso didorong untuk berkomunikasi satu sama lain demi memperkuat hubungan sosial mereka di dalam kegiatan sekolah.Pendidikan karakter yang telah berjalan lebih dari sepuluh tahun ini nampaknya berhasil menginspirasi masyarakat luas untuk kemudian mengadakan dialog-dialog multikultural dan multireligi (Wahana Visi Indonesia, 2013).

Baca Juga:  Wirausaha Sosial Perkebunan Jambu Mete yang Membangun Hidup Masyarakat di Sumba Barat Daya

Ketika memahami dampak serta kerugian psikologis yang ditimbulkan, maka seharusnya para pelaku politik di dunia dan di Indonesia sebisa mungkin menghindari manuver-manuver yang berbuntut konflik. Kondisi psikologis anak-anak sesungguhnya adalah harta istimewa yang menentukan masa depan suatu bangsa. Dengan memelihara perdamaian maka kita semua akan mendukung terwujudnya perilaku altruisme absolut tanpa kekerasan terwariskan dalam proses evolusi, sehingga generasi berikut akan mendapat warisan genetik positif demi terwujudnya utopia di dunia. [*]

*] Indra Yohanes Kiling, Dosen Psikologi Universitas Nusa Cendana

Komentar