Kala itu kopi sore kian berangsur dingin, walau begitu, volumenya dalam gelas kacaku, kadiah dari membeli deterjen, perlahan mulai berkurang. Mendadak membawa pikiran ini sore lalu, saat sibuk meladeni teknologi Tiktok Bro. Kami melek teknologi bukan rusakan moral, jadi jangan salahkan kami. Salahkan saja diri sendiri yang tidak begitu pandai berbahagia atau ‘Diam-Diam Main Belakang’ ingin main pula sejatinya, tapi sudah terlanjur bilang kami ‘Goblok’. Kami tidak Goblok bro da sis, karena menurut “Seligman”, bahwa ketika membahas masalah kebahagiaan, maka tidak perlu mencari pengertian yang benar benar tepat. Kebahagiaan bersifat subjektif, oleh karena itu akan terdapat pemaknaan yang berbeda-beda. Mengenai kebahagiaan (Seligman, 2005), So yang kalian perlu tahu adalah bahwa kamu bahagia.
Alhasil singkat cerita dengan maraknya pengguna Tiktok di Indonesia, dengan jumlah Download 50 Juta lebih yang ramai dikalangan Generasi milenial, Tiktok seakan menjadi brand bagi ‘kids jaman now’ padahal kenyataannya, Tiktok tidak hanya dimainkan oleh remaja saja tapi juga dimainkan mulai dari anak-anak hingga dewasa.dari yang masih beraroma susu dari hembusan nafasnya hingga yang telah beraroma tembakau atau bahkan mungkin obat – obatan medis.
Sadar atau tidak, kebiasaan mencari kesalahan yang kadang diberengi mata jelalatan, marak di masyarakat kita. Akhirnya membuat beberapa video yang agak antimainstream menjadi viral. Imbasnya menjadikan Tiktok terlabel aplikasi yang merusak moral dan kemudian dimainkan oleh orang-orang goblok dengan mengabaikan tujuan entertainment dari aplikasi ini.
Lalu tidak bisa juga membandingkan Anak Luar negeri dan dalam Negeri belajar tarian Tor atau tiktok karena apa..? Kita sering kali lebih sudi memberikan pilihan kepada wisatawan dari pada anak – anak kita karena merasa dengan sendirinya mereka akan tahu juga. Padahal kita sama-sama sepakat bahwa apa yang paling sering dilihat adalah yang akan ditiru. Jelas kami lebih mudah melihat video kreatif dari tiktok dari pada tarian lokal, karena muatan lokal kami bicara masalah bagaimana masak nasi goreng dan asal guru kenyang. Andai saja belajar tari – tarian lokal semudah mengakses Tiktok, atau setidaknya dapat kami pelajari dari muatan lokal di sekolah, tentunya kami siap disalahkan jika mengacuhkan pilihan tersebut.
Tiktok merajalela karena tidak ada yang berhasil menjadi pilihan lain bagi kami, atau karena memang disajikan dan tersajikan dengan kemasan jauh lebih menarik dan komunikatif. Atau kalian punya pilihan untuk kami? jika tidak, maka adakah indikator dan fakta yang menunjukan bahwa yang tidak bermain Tiktok lebih pintar dan bermoral dari pada kami??
Kami para Generasi micin, kenapa? Kami hanya menikmati jaman dengan mengekspresikan diri saja dengan cara yang unik dan kreatif. Kami tidak memaksa kalian untuk suka bukan? Setidaknya kami lebih kreatif dari maaf ‘Lahu dan Tallornya’ Ernest dari Film ‘Susah Sinyal’ karena sejujur-jujurnya saya, lebih baik mengakui bahwa saya main Tiktok dari pada mengakui bahwa Ernest pernah buat Film Susah Sinyal di Sumba. Bisa kasih saya perbandingan mana lebih bagus lirik aku jatuh cinta pada aisyah, goyang dua jari atau pelafalan Lahu dan Tallor di Film Susah sinyal?
Kami main Tiktok bukan berarti kami tak bermoral. Itu hanya cara kami berekspresi selebihnya hanya agar kau terhibur, dari kami yang biasa main tiktok untuk kalian yang bilang kami goblok. Setidaknya kami bahagia, setidaknya anda sampai melowongkan waktu membicarakan kami. Yuk main Tiktok biar jangan kebanyakan stress nanti cepat tua loh.
Bagi kami dan selalu kami ingat, Tiktok tidak berbahaya dan ‘berdosa’ jika hanya untuk lucu – lucu dan hiburan, tapi akan menjadi salah jika setiap saat main Tiktok. Dan Tiktok jadi tempat pamer aurat dan kesmesraan yang berlebihan.
Saya rasa saya masih dibatas wajar!!
Satu cara agar kami berhenti, berikan kami pilihan yang kreatif dan komunikatif, menghibur dan bebas cibir dan tidak membuat takabur!!
Penulis: Sipritus T. Mahamu, Dinamisator Komunitas Ana Tana