Kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) memang unik. Di tengah-tengah kesempatan untuk warga Indonesia menikmati kebebasan berdemokrasi dan memperoleh hak-hak asasinya setelah dijajah sekian lama, kita masih bisa menemukan sekelompok minoritas di NTT yang tidak bisa menikmati ‘kebebasan’ tersebut. Penulis mendapati sebuah kasus disebuah desa yang terletak di pesisir selatan Sumba Timur pada tahun 2013, dimanaseorang anak dari kelas sosial yang rendah yang duduk di kelas 1 SD dengan paksa tidak dinaikkan kelas oleh gurunya walau sebenarnya nilainya mencukupi, karena pada saat yang sama, seorang anak dari kelas sosial yang lebih tinggi tidak berhasil naik ke kelas 3 SD. Orang tua anak dari kelas sosial yang tinggi tidak ingin anaknya belajar setingkat dengan anak dari kelas yang lebih rendah. Kejadian ini sangat jelas menunjukkan ketidak-setaraan sosial di dalam kehidupan bermasyarakat.
Satu poin kunci dari buku David Melzer yang berjudul “Social Inequalities and the Distribution of the Common Mental Disorders”, mengungkapkan bahwa ada keterkaitan antara kelas sosial dengan potensi gangguan mental. Anak-anak yang dilahirkan di kelas sosial yang lebih rendah dibanding anak lainnya akan memiliki kecenderungan untuk mengalami pelbagai macam gangguan psikis. Hal yang sangat menakutkan bagi anak-anak kita, karena penulis juga pernah menemui di pedalaman Sumba Timur pada tahun 2012 bahwa orang yang didiagnosis memiliki perilaku menyimpang oleh masyarakat, tidak akan menemukan dirinya dibawa ke rumah sakit terdekat. Orang itu akan dipasung dengan rantai di pohon terdekat, atau di kandang hewan terdekat dan dibiarkan makan bersama hewan-hewan penghuni kandang tersebut. Sungguh perilaku yang tidak manusiawi untuk masyarakat yang diplot berkepribadian dalam kebudayaan oleh proklamatornya. Beberapa potensi gangguan psikis yang rentan terjadi pada anak yang mengalami ketidak-adilan sosial seperti:
Gangguan Suasana Hati
Gangguan depresi memang rentan terkena pada anak perempuan, apalagi bagi mereka yang terkena pengalaman traumatis seperti kekerasan seksual. Anak yang mengalami ketidak-adilan sosial sendiri berpotensi besar mengalami kekerasan seksual. Gangguan depresi yang dibiarkan berlarut-larut dan tidak ditangani bisa berujung ke berbagai perilaku lain yang membahayakan seperti melukai diri sendiri, atau bahkan percobaan bunuh diri. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, karena perilaku bunuh diri seorang remaja memiliki peluang sangat besar untuk menular ke remaja lain. Hal ini dikarenakan remaja merupakan masa dimana seseorang belajar lebih banyak dari teman sebayanya. Bisa jadi akan ada ‘Jembatan Liliba’ baru di kawasan NTT lain yang rawan dengan ketidak-adilan sosial.
Gangguan Perilaku Sosial
Remaja yang mengalami ketidak-adilan sosial akan merasa tidak puas dengan kehidupannya dan cenderung memilih lari dari rumah.Remaja yang lepas dari pengawasan dan kendali orang tua akan sangat rentan terlibat dalamaktivitas kriminal bersama teman-temannya. Selain itu remaja bisa juga terlibat dalam seks bebas, penggunaan NAPZA serta perilaku antisosial lain yang dapat menjebloskan remaja ke lembaga pemasyarakatan. Keadaan daerah-daerah di NTT yang minim lembaga pemasyarakatan khusus anak semakin memperburuk keadaan.Penegak hukum bisa memilih untuk memangkas simtom yang muncul seperti kenakalan remaja, atau menebas akar masalah yang ada seperti praktik ketidak-adilan sosial yang hidup di masyarakat.
Gangguan Kecemasan
Kejadian traumatis seperti kekerasan fisik atau seksual pada anak-anak, rawan terjadi pada anak-anak dengan kelas sosial rendah. Kejadian-kejadian ini bisa menimbulkan gangguan kecemasan pada anak-anak. Anak menjadi kikuk, tidak sabar, paranoid kepada lingkungan sekitarnya bahkan bisa menjadi fobia. Sama halnya seperti gangguan perilaku sosial, gangguan kecemasan yang berlebih dan berkepanjangan berpeluang untuk membuat anak mengalami kondisi komorbiditas (comorbidity). Komorbiditas adalah keadaan munculnya dua gangguan mental yang tidak terkait secara bersamaan. Komorbiditas tentu akan menyulitkan anak untuk pulih dari keadaan gangguan-gangguan mental tersebut. Minimnya ahli kejiwaan seperti psikiater dan psikolog di daerah-daerah di NTT akan membuat kondisi-kondisi ini tidak tertangani, sehingga praktik pasung yang sangat terkutuk akan menjamur di segala penjuru NTT.
Gangguan dan Kesulitan Belajar
Kesulitan membaca, menulis dan menggunakan angka adalah jenis-jenis gangguan belajar yang rentan dialami anak-anak. Gangguan belajar bukan hal yang sulit ditemukan pada anak-anak yang mengalami ketidak-adilan sosial. Rendahnya kuantitas guru, sulitnya akses jalan menuju sekolah, kurangnya sarana dan prasarana di sekolah, rendahnya suplai gizi bagi anak-anak, rendahnya penghargaan terhadap pendidikan dan banyak faktor lain mendukung meluasnya kesulitan belajar yang dialami anak-anak di NTT. Kewajiban untuk nge’babu’ di rumah semakin menyulitkan anak dengan kelas sosial rendah dalam belajar. Tidak ada listrik menyebabkan malam hari keluar dari opsi waktu belajar. Kekerasan verbal dan fisik yang beruntun dari orang tua semakin menambah tekanan bagi anak untuk bisa belajar dengan baik. Guru-guru SD maupun SMP di desa-desa pun kurang terampil dalam mendukung perkembangan kemampuan yang dibutuhkan anak seperti kemampuan mengingat dan penalaran, menggunakan bahasa ekspresif, pemahaman bahasa, pemecahan masalah dan memahami konsep-konsep abstrak baru serta penerapan hasil belajar dalam situasi berbeda.Kombo inimenambah kemungkinan anak untuk mengalami gangguan belajar yang berat yang dapat pula menimbulkan retardasi mental pada anak.
Langkah Ke Depan
David Melzer menyebutkan bahwa studi-studi sudah memberikan bukti bahwa ada hubungan antara ketimpangan sosial yang dialami sejak anak-anak dengan munculnya gangguan kejiwaan di masa yang akan datang. Hal ini sangat berbahaya karena gangguan kejiwaan terbukti merupakan penyebab utama dari kecacatan dan kematian di masa muda, terutama pada orang dewasa dalam usia optimal untuk bekerja. Upaya untuk mewujudkan sila ke-5 Pancasila menjadi agenda penting bagi pemerintah NTT agar anak-anak kita terlindungi dari ketidak-adilan sosial dan gangguan mental.Langkah ini bisa dimulai dengan mulai memandang ketidak-adilan sosial sebagai salah satu bentuk disabilitas (ketidak-mampuan). Karena sesuai yang telah disebutkan WHO (World Health Organization), disabilitas bukan hanya berbicara mengenai kecacatan fisik, melainkan pula menyangkut kecacatan mental dan sosial. Jika pandangan ini diberlakukan, niscaya data penyandang disabilitas di NTT akan melejit jauh dari angka 38.880 orang (VN, 28 Mei 2014). Pembengkakan angka diharap akan mendongkrak kesadaran dan mengubah persepsi negatif akan keberadaan kaum lemah ini. Kesadaran akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam segala kegiatan pemberdayaan sosial yang diagendakan pemerintah, lembaga sosial maupun pemerhati sosial lainnya. Seterusnya, tingkat partisipasi akan menjamin keberlangsungan program-program penyetaraan sosial sehingga output terakhir dapat diraih yakni keadilan sosial bagi seluruh anak NTT.[*]
*] Indra Yohanes Kiling, Dosen Psikologi Universitas Nusa Cendana