Waingapu.Com – Kekeringan sebagai dampak musim kemarau yang hingga kini masih melanda sebagian besar wilayah Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT, terus menggulirkan cerita. Seperti halnya warga Desa Persiapan Palindi Tana Bara, Kecamatan Kanatang, kekeringan dan kemarau yang berdampak pada sulit dan susahnya warga memperoleh atau mengakses air bersih belum jua berganti cerita manis. Ironi Palindi Tana Bara, selalu berulang saban tahun setipa kemarau dan kekeringan melanda.
“Tempat kami ini namanya Ndata, masuk dalam desa persiapan Palindi Tana Bara. Tiap tahun kalau sudah kemarau pasti kami sulit air bersih. Kalau hujan yaa kita tadah air hujan,” ungkap Ama Nai Ana alias Lam Landu Amah, tokoh masyarakat setempat yang ditemui media ini sepekan silam.
Lebih lanjut dijelaskan Lam, dimusim kemarau seperti saat ini, jika miliki uang dari hasil menjual sirih yang tumbuh cukup subur di sisi rumahnya, uangnya bisa dikumpul kumpul untuk dibelikan air guna ditampung di bak penam[pung di sisi lain rumahnya. “Air satu tangki 300 ribu kalau ke sini. Memang mahal tapi pantas karena memang jalan ke sini tidak terlalu bagus. Airnya kita pakai irit-irit,” jelasnya lagi.
Sejauh sekira lima kilometer dari kediamannya, demikian Lam yang kala itu didampingi Karanja Ledi, isterinya, ada sumber air. “Kalau di atas gunung sana ada air, di lubang-lubang tebing. Kalau air di bak penampung sudah mau habis dan juga uang tidak ada, yaa kami pergi ambil ke sana. Tapi yang paling rajin hampir tiap hari ke sana anak – anak kampung di sini,” urai Lam.
Perjalanan menuju sumber air yang dimaksud ternyata memang melelahkan. Jalanan setapak membelah rerumputan sabana, juga turunan dan tanjakan perbukitan harus dilalui untuk menuju lubang – lubang kecil di sisi tebing perbukitan yang masing – masing berisi tidak lebih dari lima gayung air.
“Kalau sudah jam satu atau dua siang mulai banyak yang datang ke sini. Untuk ambil air dengan jerigen, mandi aytau cuci muka, juga bawa kerbau atau kuda untuk kasih minum,” jelas Obed, seorang warga yang ditemui di lokasi tempat warga mengantri mengambil air dari luubang – lubang di sisi tebing.
“Kasihan kuda saya ini jika saya tidak bawa kasih minum di sini. Apalagi ada anaknya yang masih suka ikut dan masih kecil,” timpal Obed.
Obed, Karanja dan Lam, adalah beberapa sosok yang ditemui media ini dan menyuarakan realitas keseharian mereka dalam menghadapi kemarau dan kekeringan. Tuturan yang layak menjadi ironi, dan itu diakui mereka, betapa tidak, Desa mereka miliki mata air yang disalurkan ke beberapa wilayah di luar desa mereka, dan nama mata air itupun ‘Palindi Tana Bara’ atau yang lebih dikenal dengan mata air gunung meja. Airnya mengalir sampai jauh keluar desa mereka, tapi justru masih banyak warga di beberapa wilayah desa ini, justru mencari air di kejauhan. (ion)