Waingapu.Com – Sore jelang malam sekira pukul 18:00 WITA atau pukul enam sore, tepat pada tanggal 31 Maret 2019 silam, adalah saat yang tak terlupakan oleh Dundu Tay (52) dan Manggang Ana Tana (43), dua pasutri di Laimahi, Desa Mehang Mata, Kecamatan Paberiwai, Kabupaten Sumba Timur (Sumtim), NTT. Betapa tidak, waktu itu menjadi saat nahas bagi keduanya, Dundu Tay harus pingsan tak sadarkan diri, dengan luka dan lebam di tubuhnya, karena dikeroyok dan dianiaya, belasan warga se desanya. Prahara pasutri tanpa anak itu diceritakan dalam kepiluan, kepada media ini, Selasa (02/07) malam lalu, di salah satu rumah kerabatnya di Kelurahan Wangga, Kecamatan Kambera.
“Saya dikeroyok, dipukul dengan kayu dan bahkan dengan parang, oleh sekitar 13 orang di kediaman saya. Juga saya dan isteri dimaki dan dibentak. Tanggal 31 bulan tiga, tahun ini, hari minggu, sekitar jam enam sore. Saya masih ingat betul. Karena dikeroyok dan kena pukul banyak saya jatuh dan pingsan, dan kemudian isteri saya yang cerita lanjut setelah saya dirujuk ke RSUD dari Kananggar,” ungkap Dundu mengawali kisahnya.
Ada satu oknum, sebut saja MM, demikian kisah lanjut Dundu, yang sempat ayunkan parang dan melukainya. Luka dari parang dan imbas dari banyaknya pukulan dengan kayu hingga membuatnya pingsan. “Saya luka di kepala, lalu mereka pergi. Keluarga lalu pikul saya bawa ke puskesmas Kananggar. Jam tujuh pagi besoknya baru saya diceritakan lebih lanjut oleh isteri dan keluarga saat saya mulai baik sedikit. Selain luka, juga dua rebis saya patah karena pukul dengan kayu, sempat urut juga. Saya dibawa dan dirawat di RSUD tiga malam. Luka dikepala bagian bawah saya dijahit 24 jahitan,” imbuhnya.
Karena peristiwa itu, Duwangu Panda Huki, adik kandung Dundu Tay melaporkannya pada tanggal 01 April atau tepat keesokan harinya ke Polsek Kananggar. “Saya punya saudara kandung lapor polisi di Polsek. Ini pak bisa lihat bukti laporannya,” timpal Dundu yang kala itu selain didampingi Manggang isterinya juga anak piara mereka, Denny Nengi Rutung itu.
“Sejak masuk rumah sakit dan sampai sekarang tidak juga ada pendekatan kekeluargaan atau upaya damai dari para pelaku, yang nama-namanya sudah Bapak dan keluarga laporkan ke Polsek. Tapi sama saja pak, kami hanya bisa pasrah dan berharap semoga dengan keluhan kami ini dimuat dalam berita, kasus ini bisa diproses lanjut dan tuntas,” imbuh Denny.
Sebab musabab atau pemicu dari aksi pengeroyokan itu, adakah Dundu Tay dan keluarga punya problem dengan warga desa lainnya, terutama para pelaku pengeroyokan? Kemungkinan besar, sebagaimana dituturkan oleh Dundu Tay adalah diawali dengan sengketa kepemilikan ternak sapi.
“Saya felling saja ini karena urusan ternak saya yang liar atau dilepas naa Pak, tahu sudah kita di kampung. Saya sebut begitu karena polisi Subianto ada bawa saya punya sapi betina tujuh ekor. Bawa ke Pos Polisi, setelah kasus penganiayaan itu. Saya tidak tahu juga bawa untuk apa. Memang hanya ada satu ekor induk yang ada capnya. Jadi itu sapi saya rasa saya punya namun mereka juga yang pukul saya itu bilang itu punya mereka juga,” urai Dundu.
Masih dipaparkan soal ternak sapi itu, Dundu menjelaskan, bahwa pada saat itu memang ada jelang vaksin. Jadi ada ternak miliknya yang dilepas bebas, namun saat ditangkap hanya ada tujuh ekor itu, dan kemudian diikat dan dalam pengawasan tidak jauh dari kediamannya. “Mungkin mereka dengar saya ada tangkap sapi mereka, padahal memang itu saya punya sapi. Jadi mereka datang keroyok saat itu, sapi itu ada dikandang saya. Sekarang itu hewan saya dengar ada dititipkan Polisi kepada mereka-mereka yang keroyok saya. Saya harap ini diproses seadil-adilnya, pelakunya diproses lanjut dan bisa ditangkap dan ditahan. Masa datang langsung pukul dan keroyok, sampai sekarang saya masih sakit-sakit di badan dan juga pusing-pusing juga takut Pak,” ungkap Dundu memaparkan sembari menambahkan pihaknya dan keluarga telah dua kali mengecek proses penanganan kasus ini di Polsek dua kali. Yang mana terakhirnya tanggal 25 Juni lalu.
Dundu, Manggang dan Deny, masih menaruuh asa, pasca kasus ini terekpos, proses hukum untuk dan atas nam keadilan bisa berlanjut dan ditegakan. Lebam dan rasa sakit itu memang masih dirasakan ditubuhnya. Luka dengan bekas jahitan masih berbekas dan bahkan mengering, namun asa keluarga ini akan keadilan tak lekang dan sirna. (ion)