Selama ini pemerintah gencar menggaungkan literasi. Gaung literasi ini dikenal dengan nama Gerakan Literasi Nasional. Mengutip dari buku Gerakan Literasi Nasional, dalam kata sambutan pak Muhajir Effendy, halaman v, “Sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan hidup abad ke-21 melalui pendidikan yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan masyarakat. Penguasaan enam literasi dasar yang disepakati oleh World Economic Forum pada tahun 2015 menjadi sangat penting tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi orang tua dan seluruh warga masyarakat. Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan”.
Selain Litarasi Dasar yang terdiri dari 6 poin di atas, masih ada yang namanya Literasi Sekolah, Literasi Keluarga, dan Literasi Masyarakat. Gerakan Literasi Nasional ini memang menarik, terarah, terukur, dan bisa diterapkan. Pertanyaannya sekarang, sejauh mana kita menerapkan salah satu literasi di atas?
Beberapa waktu lalu saya mengikuti sebuah kegiatan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Sumba Timur bekerjasama dengan salah satu lembaga yang bergerak dibidang pengembangan Literasi Baca di Sumba. Selama empat hari, 27-30 Agustus 2019 kami dilatih bagaimana menulis buku berjenjang. Produk yang kami hasilkan adalah mampu menulis buku berdasarkan level/tingkatan kemampuan baca.
Menarik bagi saya adalah ketika pengetahuan dasar literasi yang saya peroleh dalam kegiatan ini, dan saya coba padukan dengan siswa kelas 7 jenjang SMP, ada siswa yang literasi baca-tulisnya sangat kurang. Artinya ketika mundur 6 tahun kebelakang saat di jenjang SD literasi baca-tulis tidak berjalan. Ya ini bisa maklumi saja karena Gerakan Literasi Baca ini baru dimulai tahun 2016. Hanya saja akan muncul lagi pertanyaan lain, apakah pada saat 6 tahun lalu gurunya tidak mengajarkan cara baca-tulis? Atau tidak tersedianya bahan bacaan? Nah ini perlu kajian lagi, karena pasti banyak variable yang mengikutinya.
Kembali ke topik tulisan saya di atas dan untuk menjawab pertanyaan dari judul tulisan ini, bahwa ternyata Literasi Baca itu sangat penting. Makna penting ini saya perlu garis bawahi karena bukan sekedar bentuk dukungan pada program pemerintah tetapi lebih kepada kehidupan nyata yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Khususnya kita orang Sumba yang literasinya adalah literasi/budaya tutur, maka tidak heran ketika, misalanya ada sebuah informasi penting yang ditulis dengan jelas, kita akan lebih senang akan apa yang dikatakan orang lain. Sumber informasi lisan lebih kita cepat meresponinya ketimbang kalau kita disuruh baca sumber informasi itu. Yang lebih miris lagi adalah ketika sudah membaca informasinya, tapi masih menanyakan lagi yang sudah tertulis itu.
Akhir kata, semoga program pemerintah ini terus diresponi, dan untuk informasi lebih lengkap tentang Gerakan Literasi Nasional silahkan baca di sini: http://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/
Salam Pendidikan.
Penulis: Umbu Oskar Tamu Ama, Guru di SMP Negeri 1 Waingapu