MASYARAKAT DAN PENOLAKAN: Memanusiakan Manusia Dalam Konsep Pembangunan Ekologis

oleh
oleh

NTT Dewasa ini persoalan agraria menjadi bahan diskusi berbegai elemen dan komunitas di berbagai daerah di Indonesia. Masyarakat

adat pun tidak tinggal diam dalam waktu senggang mereka sering membicarakan berbagai ketimpangan yang di daerahnya masing-masing. Konsep pembangunan yang dikampanyekan oleh pemerintah pusat kian hari kian menambah permasalahan baru.

Salah satu yang menarik dari pengamatan penulis adalah ketika pemerintah pusat, kabupaten dan kota menggalakkan semangat kerja kepada seluruh komponen masyarakat, pemerintah (birokrasi) dan pihak swasta (perusahaan) untuk turut serta membangun perekonomian Indonesia yang kuat. Anjuran ini tentu saja mendapat angin segar bagi semua pihak terutama pihak swasta yang mengelola anggaran percepatan pembangunan di sektor ekonomi.

Masyarakat pada umumnya menerima niatan baik pemerintah terkait konsep kesejahteraan yang pada dasarnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat itu sendiri, namun di sisi lain ada system mengingakat jalannya berbagai kebijakan yang ada, ini tentu saja bagi masyarakat awam masih membutuhkan sosialisasi dan pemahaman lebih dalam terkait apa yang direncanakan oleh pemerintah.

Kebijakan pemerintah dengan lahirnya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 menjadi jawaban atas kegelisahan masyarakat yang selama ini menanti jawaban pemerintah terhadap kondisi masyarakat desa yang belum dapat diakses oleh anggaran yang ada. Lahirnya regulasi dan kebijakan anggaran desa menjadikan kunci utama percepatan dan pengembangan sektor ekonomi masyarakat dan daerah.

Apa itu Undang-Undang Desa?

Undang-undang desa memberikan kewenanagan yang lebih luas kepada desa untuk mengelola dan membangun desa secara mandiri. Hal ini juga disertai adanya kepastian sumber daya dana yang lebih besar . kewenanagan nyang diberikan termasuk pengelolaan uang desa, jika sudah bicara uang in merupakan hal yang sensitive. Transparansi dan akuntabilitas menjadi salah satu faktor dalam mengelola anggaran desa.

Penjelasan terkait dengan adanya UU desa yang sementara ini terus dikampanyekan oleh berbagai lembaga menjadi kekuatan besar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya di pedesaan. Namun anehnya saat ini hampir semua daerah di Indonesia mengalami persoalan pelik terkait dengan pengelolaan anggaran hal ini terlihat dari banyaknya kasus-kasus aparatur desa belum memahami betul mekanisme dan regulasi yang ada.

Baca Juga:  Waspadai Corona, Masyarakat Desa Maubokul Produksi Masker Didanai Dana Desa

Bicara kesejahteraan tentu saja tidak terlepas dari daya dukung lingkungan serta potensi yang ada di wilayah itu, yang jadi masalah besar saat ini adalah seringkali Wilayah kelola Rakyat (WKR) belum mendapat tempat yang baik dimata pemerintah padahal Wilayah Kelola Rakyat menjadi basis masyarakat untuk memanfaatkan potensi sumber daya yang ada.

Masuknya berbagai strategi untuk meningkatkan perekonomian Indonesia dengan menciptakan iklim investasi secara besar-besaran seringkali mendapat penolakan dari masyarakat, hal ini dikarenakan berbagai implementasi kebijakan daerah yang belum berjalan dengan baik. Partisipasi masyarakat seringkali diabaikan oleh pemangku kepentingan ini menunjukan dengan jelas bahwa sebenarnya iklim investasi malah membawa berbagai persoalan baru di masyarakat.

Mengacu pada undang-undang desa saharus pemerintah sudah bisa mengoptimalkna peningkatan ekonomi lewat anggaran yang ada tentu saja ini dirasa sangat kurang karena mengingat anggarannya tidak sebesar perusahaan yang melakukan investasi, akan tetapi jika ditelaah lebih dalam lagi persoalan terbesar saat ini ada di kantong-kantong penerima anggaran desa belum secara baik dikelola, ini perlu peran semua pihak untuk terus mengupayakan pengelolaan anggaran dan transparansi yang baik.

Iklim investasi yang semakin deras tidak memberikan ruang kepada masyarakat dan lingkungan untuk bagaimana mengembangkan potensi tersebut, bahkan sesekali daerah pun ikut mengaminkan segala kegiatan dengan cara melakukan pembebasan lahan tanpa mekanisme yang benar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal inilah yang dilihat oleh penulis sebagai pemicu gelombang penolakan dari berbagai komponen masyarakat di Indonesia.

Lingkungan seringkali menjadi tumbal investasi yang ada dan bergerak di bidang perkebunan monokultur mendapat berbagai aksi penolakan yang hampir di seluruh daerah atau wilayah di Indonesia, ini tentu saja berkaitan dengan hak ulayat masyarakat.

Kasus yang baru-baru ini terjadi pada petani Kendeng, di Rembang Jawa Tengah seharusnya membuka mata pemerintah terkait derasnya iklim inestasi yang seharusnya bisa dikendalikan oleh pemerintah. Hari ini pemerintah berasumsi bahwa lahan menjadi penghambat investasi, jelas bukan hal yang gampang dan mudah untuk melakukannya.

Baca Juga:  Dari Komnas HAM, LPSK Hingga Mabes Polri, Keadilan Untuk Poro Duka Diperjuangkan

Pesan yang di sampaikan petani Kendeng menurut hemat penulis sangatlah dalam, petani Kendeng tidak membutuhkan Pabrik semen seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Pemerintah harus berbenah diri mengkaji serta menganalisa dengan baik apa yang menjadi kebutuhan petani Kendeng saat ini. Puluhan tahun peteni Kendeng melakukan aktifitas bertani dan berkebun dan mereka hidup dari potensi lingkungan yang ada. Jika pemerintah membangun pabrik semen ada sejumlah hal yang menurut penulis mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat sekitar Kendeng, hal ini juga tentu saja berkaitan dengan lingkungan.

Duka Kendeng, Duka NTT

Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang membuka kran investasi di berbagai bidang baik itu pertambangan, perkebunan monokultur.hampir di seluruh wilayah kabupataen di NTT membuka pintu investasi hal ini dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penulis mengamati berbagai persoalan yang terjadi di daerah sebagian besar bergerak di bidang pertambangan dan perkebunan.

Seperti penjelasan penulis di atas, lingkungan menjadi tumbal derasnya pembangunan ini juga dirasakan oleh masyarakat NTT. Sejarah mencatat perlawanan masyarakat NTT begitu kuat melawan koorporasi pertambangan yang masuk di NTT. Di kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, daratan Flores dan Pulau Sumba menjadi lahan basah investasi yang sampai saat ini terus mendapat perlawanan keras, belum lagi persoalan korupsi yang kian meningkat.

Sangat ironis memang ketika NTT dinobatkan sebagai provinsi termiskin dengan rangkin 3 (tiga). Selama tiga bulan (Maret-September 2016) jumlah orang miskin di NTT bertambah 160 sehingga total warga miskin di NTT menjadi 1.150.080 orang, (22,01 persen) meningkat sekitar 160 orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2016 sebanyak 1.149.920 orang (22,19 persen) *BPS Propinsi NTT Maritje Pattiwaellpia. Pada periode Maret-September 2016, garis kemiskinan naik sebesar 1, 26 persen. Naik dari Rp. 322,947 per kapita per bulan pada maret 2016 menjadi Rp. 327,003 per kapita per bulan pada September 2016.

Indikator paling kritis dimana lebih kurang 87,2 persen penduduk miskin tidak memiliki sumber penerangan yang layak. Selain itu lebih dari dua pertiga (68,7 persen) penduduk tidak punya akses air bersih dan fasilitas sanitasi. (67,4 persen) yang layak. (perkumpulan peneliti prakarsa Viktor fanggidae) Kemiskinan harus dipahami dari berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Tidak hanya sebatas dan sesederhana masyarakat kelaparan.

Baca Juga:  Pendidikan Berperan Membentuk Karakter Pemuda

Iming-iming meningkatkan perekonomian daerah dan mengurangi pengangguran malah pemerintah lalai menjaga daya dukung lingkungan. Hal ini diperkuat dengan begitu aktifnya iklim investasi yang masuk tanpa menjaga ekosistem lingkungan yang ada.

Inilah gambaran umum kondisi di NTT dengan angka kemiskinan yang terus meningkat, dengan daya dukung lingkungan yang semakin rendah menambah deretan persoalan sosial masyarakat di NTT.

Pemerintah pusat, provinsi dan daerah harus mampu memikirkan cara dan strategi yang tepat untuk mengembalikan kejayaan NTT sebagai provinsi yang dapat dibanggakan, provinsi ternak, ketahanan pangan, menjadi salah satu pilot project yang seharusnya dikembangkan di NTT dibandingkan dengan investasi perkebunan monokultur. Daya dukung lingkungan menjadi salah satu faktor penentu pembangunan, jika karakter pemimpin dan konsep pembangunan yang tidak ramah terhadap lingkungan selama itu pula NTT akan tersandera oleh konsep pembangunan tanpa landasan ekologis. Jika ingin mewujudkan ketahanan pangan berbasis ekologis pemerintah harus memfilterisasi kran investasi yang masuk, pemerintah juga harus perlu membatasi penguasaan lahan yang begitu besar oleh perusahaan hal ini bertujuan untuk memberikan akses kepada petani terhadap wilayah kelola rakyat.

Partisipasi masyarakat juga menjadi kunci utama pembangunan ekonomi saat ini, keterlibatan elemen masyarakat dalam upaya peningkatan ekonomi perlu didorong oleh pemerintah lewat berbagai program edukasi ekologis, pemberdayaan berbasis ekologis, hal ini bertujuan untuk mengingatkan kembali kepada publik bahwa pentingnya daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia dan pembangunan.[*]

IDENTITAS PENULIS
Nama : Deddy Febrianto Holo
Alamat : Jl. Kelapa gading Oesapa-penfui Kupang
Organisasi : Anggota SAHABAT ALAM WALHI NTT Bidang Pengelolaan Sumber Daya Air
E-mail : deddyfebrianto@gmail.com
No Telepon : 081 246 093 579

Komentar